19.5.17

(Cerpen) Racauan Pemuda Tanggung



Pertama, “Fakhri, nak, bangun.”

Kedua, “Fakhrii, bangun, nak.”

Ketiga, “Fakhriii, bangun. Banguuun!!!”

Ibu bilang aku terbangun pada ketujuh kalinya ibu membangunkan aku. Aku sedang bermimpi berada di surga, tempat terindah yang pernah ada bagi orang yang pantas. Di sana, istriku ada tujuh puluh tujuh orang, semuanya wanita, semuanya berambut panjang, semuanya cantik tak tertahankan. Aku kewalahan.

Belek di mata belum tuntas kubersihkan, suara Symphony 40 Mozart terdengar dari kamar sebelah, kamar adik perempuanku. Oh Mozart, kau ciptakan alunan maha indah seperti itu saat kau sedang bercinta dengan siapa? Dengan gaya apa kau melakukannya? Oh Mozart, beri tahu aku.

“Fakhriii...!!” Ibu kembali memanggil, dengan suara yang lebih keras. “Bangun, mandi!!”

Oh Mozart, aku baru bangun, ibu sudah menyuruhku mandi, aku sedang mendengarkanmu, tolong beri tahu ibu bahwa aku sedang mendengarkanmu. Perkara sepele seperti mandi tak pantas mengganggu kenikamatan alunan maha indah darimu. Oh Mozart, aku benci mandi.

Mozart, dari kamar sebelah, kamar adikku, tak terdengar lagi symphonymu, kau dimatikan oleh dia. Jangan mati dulu, Mozart, jawab pertanyaanku, kau bercinta dengan siapa? Dengan gaya apa kau melakukannya?

“Fakhriii!!!” Ah ibu, tak usah berteriak aku tetap mendengar suaramu. “Kau tidak segera bangun, makannya ibu teriak.” Oh Mozart, padahal aku Cuma berkata dalam hati, tapi ibu bisa mendengarnya, ibuku hebat sekali, Mozart. Kau mau punya ibu seperti ibuku? Tapi kau harus siap disuruh mandi setiap bangun tidur. Kau mampu? Seniman sepertimu kurasa tak sanggup melakukannya.

“Handphone terus yang kau pegang, sedang apa kau? Instagram-an?” Aku tidak menjawabnya, karena aku sedang tidak instagram-an. “Hidupmu habis hanya untuk menonton hidup orang lain, tahu!”

“Oh Ibu, aku sedang tidak instagram-an, aku sedang youtube-an.”

“Apa yang kau tonton dari youtube? Daily video orang-orang kurang jelas? Hidupmu benar-benar habis buat nonton hidup orang lain. Sia-sia saja.”

Oh Mozart, kau dengar itu? Ibu tahu tentang daily video di youtube? Apakah ibu juga menonton youtube? Atau ibu hanya sekadar tahu? Ah tapi ibu ada benarnya, buat apa juga aku nontonin hidup orang lain yang kata ibu kurang jelas itu? Nanti hidupku habis hanya buat nonton mereka, masih banyak hal menyenangkan lain yang bisa dilakukan, bukan?

Tapi Mozart, kau bercinta dengan siapa? Dengan gaya apa kau melakukannya?

“Sudah, buruan mandi, lupa lagi kalau hari ini kita mau kondangan? Setengah jam lagi berangkat.” Kata ibu.

Apa-apaan ini Mozart? Sepagi ini ibu mengganggu aku mendengarkan alunanmu, menyuruh mandi, dan sekarang menyuruh aku ikut kondangan? Tempat ramai yang kosong tidak ada apa-apa kecuali buat pamer dan bergosip. Tempat pakaian-pakaian ribet dikenakan, tempat bedak-bedak tebal dipamerkan, tempat gengsi dijunjung tinggi setinggi-tingginya. Oh Mozart, kau masih mau punya ibu seperti ibuku? Kau mampu? Seniman sepertimu kurasa tak sanggup melakukannya.

Kau pernah kondangan, Mozart? Berapa kali dalam hidupmu? Ah aku terlalu banyak bertanya padamu, ya? Maafkan aku, Mozart, maafkan.

Mozart, aku sudah selesai mandi, sudah kukenakan pakaian yang menurutku bagus, tapi tetap saja kurang di mata ibu, aku kurang bisa memilih pakaian katanya. Jadi aku ganti dengan pakaian yang menurut ibu pantas dan bagus. Hari ini aku mengantar Ibu, kakak dan adik perempuanku ke kondangan. Aku ingin membuat ibu senang, jangan marahi aku, ya Mozart. Aku sayang keluargaku.


Tapi Mozart, kau bercinta dengan siapa? Dengan gaya apa kau melakukannya? Dan bolehkah aku memanggilmu Amadeus?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkumpulah, berkumpulah

Hari itu, hari setelah penantian panjang bertahun-tahun untuk memiliki anak, turun perintah langit untuk Ib. Ia disuruh membawa istri dan a...