31.1.20

Berkumpulah, berkumpulah

Hari itu, hari setelah penantian panjang bertahun-tahun untuk memiliki anak, turun perintah langit untuk Ib. Ia disuruh membawa istri dan anaknya, Haj dan Is yang masih bayi ke lembah yang jauh dan meninggalkan mereka di sana. Ib patuh dengan perintah itu meskipun ia harus berpisah dengan anak yang belum lepas dari masa susuan. Ia berkata kepada Haj, “Ikutlah denganku.”

Mereka bertiga, Ib, Haj dan Is mulai berjalan dari negeri yang diberkahi untuk alam semesta, Palestine, menuju lembah yang gersang tandus nun di sana. Tidak ada sepatah kata pun terucap dari mulut Haj untuk menanyakan kemana akan pergi, kenapa harus pergi, berapa lama waktunya, tidak ada. Haj hanya patuh kepada suaminya. Dalam perjalanan, saat hendak makan, ia melayani suaminya, saat istirahat ia mempersiapkan keperluannya.

Beberapa hari setelah perintah itu, setelah keberangkatan Ib serta istri dan anaknya, di belahan bumi lain, di Yamen, bencana datang. Bendungan ma’rib yang dibangga-banggakan oleh masyarakatnya, sumber kehidupan, rusak, jebol, hancur karena kekufuran kepada Tuhan. Sebelumnya, di sekitar bendungan ini tumbuh subur berbagai macam buah dan sayur. Mashyur ke pelosok negeri lain. “Jika hendak merasakan buah terbaik, datanglah ke Yamen.” Begitulah kalimat yang tersebar untuk menggambarkan bagaimana keistimewaan buah dari Yamen ini. Namun, buah dan sayur itu berganti pohon bidara yang banyak duri serta pohon cemara. Tidak dapat dimakan. Atas kejadian ini, keluarlah suku jurhum, suku arab pertama dari Yamen. Mereka akan melakukan perjalanan dari selatan ke utara, dari Yamen ke Syam untuk mencari kehidupan yang lebih baik.

Perjalanan Ib dan Haj dari Palestine ke lembah itu, dengan kuda tercepat memerlukan waktu satu bulan. Namun mereka naik unta, dengan kata lain, perjalanan mereka akan lebih lama, lebih dari satu bulan.

***
Sebelum menikahi Haj, Ib sudah mempunyai istri bernama Sar. Ib dan Sar tinggal di sebuah kota bernama Babilonia. Raja Babilonia dan masyarakatnya tidak berkenan diajak kepada kebaikan oleh Ib. Bahkan dengan sombongnya ia mengaku sebagai tuhan. Atas kesombongan itu, ia dibinasakan dengan kematian yang sangat memalukan. Seekor lalat masuk dari lubang hidungnya, menetap di kepalanya selama tiga hari. Membuat ia tidak berselera untuk makan dan minum. Di hari ke tiga itulah, ia mati. Penasihat kerajaan dan pengawalnya melihat lalat itu keluar dari lubang hidungnya, tersebarlah berita, “Nam, raja kami, mati dibunuh oleh lalat.” Hina sekali.

Setelah kematian raja itu, turunlah perintah langit kepada Ib untuk melakukan perjalanan panjang ke Palestine. Inilah awal kisah pertemuan Ib dengan Haj.

Dalam perjalanan panjang bersama istrinya itu, suati hari sebelum sampai di Palestine, Ib ingin berkunjung ke Mesir. Negeri yang terpisah oleh laut kecil dengan Palestine. Di mesir, waktu itu juga ada raja yang sangat dzalim, suka mengambil wanita yang sudah menikah. Wanita yang sudah bersuami dianggap memiliki kelebihan oleh raja ini. Ib menasihati Sar akan hal itu, “Di negeri ini, ada prajurit khusus berkeliling mencari wanita yang sudah menikah. Jika kau ditanya oleh prajurit-prajurit itu, jawablah kau saudariku.” Maksud Ib adalah saudari seagama.

Kata Sar, “Baiklah.”

Saat benar-benar sampai di Mesir, mereka berdua didatangi oleh prajurit kerajaan. Mereka bertanya kepada Ib, “Siapa kau?”

“Saya saudaranya.” Jawab Ib.

Lalu prajurit itu bertanya kepada Sar dengan pertanyaan yang sama, “Siapa kau?”

“Saya saudarinya.” Jawab Sar.

Karena kecantikannya, prajurit itu tetap membawa Sar ke istana menghadap raja. Sedangkan Ib tidak diperbolehkan untuk menemani. Saat bertemu Sar, raja dzalim itu langsung tertarik akan wajahnya. Ia langsung mengulurkan tangan untuk menjamah. Sar berdoa, “Ya Tuhan, ambil alih orang ini.” Tiba-tiba tangan kanan raja itu kaku, tidak bisa bergerak.

“Apa yang kau lakukan ini?” Dengan penuh kepanikan raja itu bertanya kepada Sar.

Sar wanita mulia menjawab, “Aku berdoa kepada Tuhan agar diselamatkan dari keburukanmu.”

“Kalau begitu, berdoalah kepada Tuhanmu minta supaya saya disembuhkan, dan saya tidak akan mengganggu kamu lagi.”

Sar wanita mulia berdoa, “Ya Tuhan, sembuhkan orang ini.”

Sembuh langsung tangan kaku raja itu. Tetapi dasar orang tidak percaya tuhan, penyembah patung, ia hendak menjamah Sar lagi. Sar juga berdoa lagi. Sekarang kaku kedua tangan itu, tidak hanya sebelah kanan.

“Apalagi yang kau lakukan?” Tanya raja dalam ketakutan yang bertambah.

“Saya berdoa kepada Tuhan agar diselamatkan dari keburukanmu. Saya sudah bersuami dan ini tidak boleh dalam agama kami.”

“Baiklah, minta kepada Tuhanmu supaya saya disembuhkan.”

Sar wanita mulia berdoa, “Ya Tuhan, sembuhkan orang ini.”

Sembuh lagi tiba-tiba tangan raja, namun ia masih penasaran, belum puas, ia hendak menjamah wanita mulia ini untuk ke tiga kalinnya. Sar berdoa lagi kepada Tuhannya, kali ini kaku semua badan raja, sekujur tubuh, kecuali muka.

Raja itu berkata lagi dalam ketakutannya yang menjadi-jadi, “Mintalah kepada Tuhanmu supaya saya disembuhkan dan saya tidak akan mengganggu kamu lagi. Serta semua ini, prajurit-prajurit saya, dayang-dayang, semuanya menjadi saksi.”

Sar wanita mulia berdoa, “Baiklah, ya Tuhan, sembuhkan orang ini.”

Raja dzalim itu sembuh lagi secara tiba-tiba, semua anggota badannya normal, bisa digerakkan seperti sedia kala. Kemudia ia berujar kepada prajurit-prajuritnya, “Keluarkan perempuan ini dari istana saya, karena yang kalian bawa ini jin bukan manusia.”

Namun tidak hanya itu, rasa ketakutan masih menguasainya, ia berpikir jangan sampai di luar sana, Sar berdoa kepada tuhannya meminta supaya seluruh badannya kembali kaku. Maka raja itu menghadiahkan perempuan terbaik dari kerajaannya kepada Sar, dengan tujuan mengambil hatinya agar tidak mendoakan keburukan untuknya. Haj, nama perempuan itu, diberikan oleh raja untuk melayani Sar.

***
Pergilah Haj bersama Sar, saat itu Sar bersuaia tiga puluh tahun dan Haj setengah dari usia Sar. Dengan penuh kepatuhan, Haj melayani “majikannya” itu.

Mereka bertiga melanjutkan perjalanan lagi menuju Palestine, menetap di sana untuk waktu yang cukup lama. Sampai usia Sar menyentuh angka enam puluh tahun namun belum mempunyai anak. Sar gelisah melihat perangai Ib sebagai lelaki dan suami yang begitu mendambakan seorang anak untuk melanjutkan keturunannya. Oleh karena itu, ia membebaskan Haj dan menjadikannya manusia merdeka kemudian menghadiahkannya untuk Ib. Mereka berdua, Ib dan Haj, menikah. Setahun dari pernikahan itu, mereka dikaruniai anak, anak inilah yang diberi nama Is.

Melihat hal itu, Sar sebagai perempuan bersuami, muncul keinginan untuk mempunyai anak seperti Haj. Di usia enam puluh tahun ini, Ia pun berdoa kepada Tuhannya, “Ya Tuhan, mudahkanlan anak untuk Ib dari saya.”

Doa itu terkabul, Sar hamil di usia enam puluh tahun setelah dengan penuh keikhlasan menghadiahi istri untuk suaminya. Sekarang Ib mempunyai dua orang anak, dari Sar istri pertamanya dan dari Haj istri kedua. Sedang menikmati bahagianya mempunyai anak inilah, turun perintah itu, perintah langit kepada Ib untuk membawa Haj dan Is ke lembah yang nun jauh di sana. Namun lembah yang mulia.

***
Setelah hari-hari yang panjang dalam perjalanan, tibalah mereka bertiga di lembah itu. Perjalanan yang penuh kepatuhan seorang istri kepada suaminya, adab yang sangat mulia dari Haj. 

Namun apa yang dikatakan Ib kepada Haj sungguh tidak dapat diterima oleh akal manusia biasa, dengan kondisi lelah perjalanan yang begitu terasa, baru sampai belum sempat beristirahat, Ib berkata, “Turunlah di sini, turunlah di sini. Dan di sini, aku akan meninggalkanmu.”

Setelah mengatakan itu, Ib membalikkan untanya ke utara, mengarah ke Palestine.

“Saya akan meninggalkan kamu di sini, tinggalah, saya akan pulang.” Ib menuntun untanya, kembali berjalan menuju Palestine.

Haj sebagai manusia muncul sebuah pertanyaan. Ini lembah, satu pohon kering pun tidak ada apalagi pohon basah. Tidak ada hewan , tidak ada manusia, semua padang pasir dan gunung batu.

Haj mengikuti Ib dari belakang dan berkata, “Wahai Ib suamiku, apa kau tinggalkan kami di lembah, yang tidak ada manusia, tidak ada hewan, tidak ada pohon?”

Ib sambil menangis terus berjalan, tidak menjawab. Haj ikuti dari belakang dan mengulang pertanyaan yang sama dengan santun, Ib masih terus berjalan sambil menangis.

Yang ketiga kali Haj bertanya, masih dengan pertanyaan yang sama. Ib tetap tidak menjawab, masih terus berjalan sambil menangis. Sebenarnya Ib bisa menjawab, tapi berat. Karena ia disuruh oleh Tuhan untuk meninggalkan istri dan anaknya di lembah dan tidak ada penjelasan apa pun mengenai itu. Hanya antar, turunkan, dan tinggalkan, sudah.

Dalam kebingungan yang meresahkan itu, Haj berkata pelan penuh kehati-hatian, “Sebentar Ib, apakah Tuhanmu yang memerintahkan kamu mengerjakan ini?”

Ib tetap tidak mengatakan apa pun, hanya menganggukkan kepala. Kembali dengan suara santun Haj berkata, “Kalau begitu, Tuhan tidak akan membiarkan kami. Pulanglah Ib, saya akan tinggal dengan anak saya di sini.”

Ib pulang dengan masih terus menangis, dalam tangis itu ia berkata, “Ya Tuhan, aku tinggalkan keluargaku di sebuah lembah, tidak ada manusia, tidak ada hewan, tidak ada pohon. Tapi di tempat, di lokasi rumahmu yang mulia.”

Haj diam di tempatnya berdiri, melihat Ib dan untanya yang semakin jauh, semakin semu, semakin menghilang. Kemudian ia melihat perbekalan yang ada, airnya sudah menipis, tidak akan sampai untuk hari-hari ke depan. Ia memperhatikan sekitar, ada tidak kehidupan, manusia, kafilah lewat, pohon untuk bernaung. Tidak ada, hanya pasir sejauh mata memandang.

Ada dua bukit di dekat tempatnya berdiri. Penuh semangat ia menyusun batu dan meletakkan Is, bayinya, di dekat batu itu agar terlindung dari panas. Kemudian ia berlari kecil naik bukit yang satu. Di atas bukit ini, ia melihat ke arah bukit ke dua, di sana ia melihat genangan air. Penuh semangat ia turun untuk naik ke bukit ke dua, ternyata di sana juga tidak ada air, fatamorgana.

Dari atas bukit ke dua itu, ia melihat bukit pertama, kejadian yang sama, di bukit pertama terlihat ada air. Ia turun dari bukit ke dua dan naik ke bukit pertama, semu, tidak ada air. Ia kembali lagi ke bukit ke dua dan mengulangi perbuatan itu sebanyak tujuh kali tanpa menemukan air setetes pun. Setelah yang ke tujuh itu, setelah lelah sudah menguasai tubuhnya, ia kembali ke Is yang tadi diletakkan di atas tanah. Saat ia kembali, ia melihat mata air keluar dari bawah kaki Is. Haj buru-buru mendatangi mata air itu, ia membuat bendungan dari tanah dan pasir dengan tangannya sambil mengucapkan bahasanya orang Mesir, tanah kelahirannya, bahasa asli qibti, “Zam, zam. Berkumpulah, berkumpulah.”

***
Suku jurhum, suku arab pertama dari Yamen yang melakukan perjalanan dari selatan ke utara, dari Yamen ke Syam karena bendungan ma’rib mereka jebol, melewati lembah itu, lembah dimana Haj dan Is ditinggalkan oleh Ib. Mereka tahu ini lembah padang pasir, tidak ada kehidupan. Namun mereka terheran-heran melihat burung berputar-putar di atas lembah itu. Jika ada burung berputar-putar di padang pasir, itu menandakan ada air di bawahnya. Hal inilah yang membuat pemimpin suku jurhum berkata kepada pasukannya, “Sepertinya kita tidak pernah tahu di sini ada air, tapi perilaku burung ini aneh. Coba sana pergi lihat.”

Datanglah beberapa orang suku jurhum ke lembah itu, mereka temukan Haj dan Is sedang duduk di dekat mata air yang terus keluar itu. Suku jurhum ini terkenal dengan adab dan tata kramanya, mereka tidak menyerang Haj dan Is. Tidak pula mengusir atau merebut air itu secara paksa.

Beberapa orang dari suku jurhum yang melihat Haj, Is dan mata air itu berbalik melapor kepada pemimpin mereka, bahwa benar ada mata air yang sedang ditunggui oleh seorang ibu dan bayinya. Pemimpin itu datang menemui Haj dan berkata, “Wahai ibu, kami ini suku jurhum dari Yamen. Kami akan pergi ke negeri Syam karena bendungan ma’rib kami rusak, hancur. Tapi kami lihat di sini ada mata air, bisa tidak anda ijinkan kami hidup bersama anda di sini? Kami bersedia membayar upeti, artinya kami akan mengembangbiakkan ternak dan membuat perkebunan, hasil ternak baik daging atau susunya dan hasil perkebunan akan kami berikan kepada anda. Yang penting, kami diijinkan untuk tinggal di dekat mata air ini.”

Haj wanita mulia yang taat kepada Tuhan dan suaminya berkata, “Baiklah, tinggallah di sini bersama saya.”

Pada hari itu, pada sore itu, hari Ib meninggalkan istri dan anaknya. Sebelum terbenamnya matahari, suku jurhum di dekat mata air mulia itu, membangun rumah, membuat peternakan, memulai perkebunan. Jadilah sebuah kota. Sebelum terbenamnya matahari. Kota yang beribu-ribu tahun kemudian, menjadi tempat kelahiran manusia paling mulia sepanjang sejarah peradaban dunia.

19.6.19

Yang Pandai Mengeluh




1.
Aku pernah berada pada masa yang aku ingin segera melewatinya. Kemudian masa itu benar-benar terlewati. Aku berada di masa yang baru. Dan di masa ini, aku merindukan masa yang ingin segera aku lewati itu.

Begitu terus sampai kuda bisa menggosok gigi pakai odol dan keramas menggunakan sampo nomor satu di uranus.

Aku sudah mati beberapa bulan yang lalu saat usiaku genap 25 tahun. Aku akan dikuburkan kurang lebih lima puluh tahun dari sekarang. Aku sudah selesai. Sudah usai.

2.
Aku sangat menyukai penggalan puisi Robert Frost yang berjudul The Road Not Taken:

Two roads diverged in a wood, and I –
I took the one less traveled by,
And that has made all the difference.

Terjemah bebasnya:

Dua jalan bercabang di dalam hutan, dan aku –
Kupilih jalan yang jarang ditempuh.
Dan perbedaannya besar sungguh.

Aku berpikir betapa kerennya orang yang berani mengambil jalan yang jarang ditempuh itu, bisa diartikan dengan betul-betul jalan bercabang di dalam hutan, dan ini kurasa penafsiran paling dangkal dari puisi itu. Atau ditafsirkan pilihan-pilihan dalam hidup yang jarang dilakukan orang sekelilingmu namun kau berani mengambilnya. Aku benar-benar terobsesi dengan puisi itu. Mulai melakukan hal-hal kecil yang beda, biar jelek yang penting beda. Biar menyiksa yang penting beda. Naif memang, naif sekali bahkan. Semua itu belakangan kusadari karena aku sedang belajar tentang ilmu baru, aku mendapatkan apa yang kuanggap bagus, mencoba melakukannya dengan harapan akan dilihat keren oleh orang lain. Di tahap sedang belajar ini, banyak yang bilang ini tahap pertama, sebagian besar orang akan sombong. Menganggap dirinya lebih dari orang lain.

Contoh kasus lain sedang berada di tahap pertama, misal baru diterima bekerja di perusahaan keren, moncer senasional, tiap hari tidak luput posting foto sedang bekerja komplit dengan background tulisan nama perusahaannya. Banyak orang akan menertawakan sebetulnya, tapi lebih baik jangan, karena kita semua begitu, kita masih kerdil, masih butuh pengakuan. Haha-hihi-in saja.

Beberapa tahun dari sekarang, satu tahun, dua tahun atau lima tahun tergantung kecepatanku bertumbuh, aku juga akan merasa malu pernah menulis hal yang demikian. Sembari berpikir mengapa aku menulis seperti ini. Namun memang begitu proses manusia tumbuh.

Kembali ke puisi itu, nyatanya ketika betul-betul dihadapkan pada pilihan-pilihan, aku tidak berkutik. Maksudku, aku tidak seberani nyaliku saat pertama memahami dan meyakininya. Mulai ada penurunan-penurunan nilai, penurunan ideologi, penurunan prinsip. Muncul pemakluman-pemakluman yang meruntuhkan pemahamanku dulu. Cupu memang. Namanya manusia.

Lalu aku membaca sebuah kalimat dari orang,  kalimat itu berhasil membantingku bolak-balik, memukul hidungku sampai keluar darah.

Tempuh arahmu,
sampai bertemu simpangan.
Di situ kau diuji,
oleh alasanmu sendiri.

Ternyata aku masih anak kecil, anak kecil yang minum susu dari botol, anak kecil yang belum paham jika hendak kencing atau eek harus bilang dulu ke bapak-ibu. Bodoh. Aku masih di tahap pertama dan belum tahu kapan akan naik kelas ke tahap ke dua.  Diuji oleh pikiran-pikiran sendiri saja masih kalah. Kemudian aku tidur, lama tidak bangun-bangun.

3.
Mungkin tidak akan ada lagi pulang dengan dada tegap, kepala penuh cerita yang siap dimuntahkan, pencapaian-pencapaian yang enak dikabarkan, bibir yang dengan senang hati tersenyum. Atau, gembira dari tingkah laku. Lelaki yang dulu penuh mimpi dan harapan, kini hanya sepotong tubuh tanpa nadi, begitu menyedihkan jika kau lihat lebih dalam. Hitam, kosong, ringan dan terombang-ambing. Sedikit kau tiup, berhamburan ia di udara.

Jika yang lain gemar memainkan game terbaru di ponselnya, ia masih bertahan  selama empat tahun dengan permainan mencocokkan buah-buahan dalam tiga baris agar mendapat poin. Menyedihkan, bukan? Tapi begitulah ia, tidak gampang menyukai sesuatu hanya karena banyak yang telah menyukainya.

Ia dari desa, namun tidak menyukai orang-orang desa, orang desa banyak yang bodoh katanya. Berbicara seperti berteriak. Berteriak tapi tidak tahu jika ada yang terganggu. Masalah hidup mereka sedikit, sangat sedikit, makanya mereka gemar mencampuri masalah orang lain. Mereka tidak tahu mana ranah pribadi orang, mana sopan, mana santun, dan mana memalukan bagi mereka sendiri. Menentukan hukum tanpa dasar ilmu, kalimat andalan mereka, katanya dia begini, katanya dia begitu, kata pak ini nggak gitu, kata pak ono bla bla bla. Meraka akan mencari tahu tentang hidupmu sampai pada level berapa kali kamu mencuci sempak dan berapa kali ganti tabung gas lpg. Lucu sekali. Banyak yang bilang jika hidup di desa itu aman, nyaman, tentram, tapi hey, desa yang mana?

4.
Yang saya bilang “ia” pada nomor 3 itu teman saya, bukan saya. Ia sering mengeluh tentang hidupnya, tentang keluarga dan orang-orang di desanya. Tapi syukurlah di desaku tidak.

5.
Usiaku sudah lebih dari 25 tahun, seperempat abad. Seperti yang kubilang tadi, aku sudah mati di usia ini dan akan dikubur kurang lebih lima puluh tahun lagi. Beberapa yang lain akan mati di usia empat puluh tahun, umur yang sama dengan Muhammad saat diangkat menjadi nabi. Sudah tidak ada lagi urusan dunia dalam hidup. Wis mangkat kata orang jawa. Dan akan dikubur dikubur kurang lebih tiga puluh tahun lagi.

Di usia empat puluh ini, manusia harusnya sudah selesai dengan apa pun kaitannya dengan duniawi, sudah mulai menikmati hidup damai dengan cara apa pun yang sesuai, menanam bahan pangan di kebun sendiri untuk konsumsi mungkin. Jauh dari kebisingan kota. Bangun pagi, mengurus tanaman, merawat dan memanen. Sarapan lalu membaca buku, bersantai di belakang rumah. Bercengkrama dengan pasangan, bercinta juga boleh. Dalam bahasa jawa, hal ini disebut klangenan, koreksi jika saya salah.

Namun nyatanya, kita masih terikat sebagai orang tua dengan anak, jika kita punya anak. Masih memliki hak dan tanggung jawab kepada mereka. Biaya hidup, pendidikan, kesehatan, jaminan keamanan, pendampingan, dan ini dan itu. Karena di usia empat puluh ini, anak masih di umur belasan tahun awal, terlalu kecil bahkan untuk mengurus hidupnya sendiri.

Ini akan menjadi rantai ikatan yang sangat panjang dan erat, susah untuk lepas darinya. Taruhlah kita sudah mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya sebelum mencapai empat puluh, dan uang itu cukup untuk menanggung semua biaya anak, tentu dengan kalkulasi yang sedikit rumit. Apakah lalu kita bisa melakukannya? Ada orang tua dan mertua yang harus dijaga perasaannya. Dan hal lain yang belum bisa diduga.

Itulah mengapa kita disebut manusia. Jika sudah muncul kesimpulan model begini, diskusi tidak bisa dilanjutkan wqwqwq.

6.
Beberapa tahun lagi, aku akan malu telah menulis begini. Karena aku sudah pindah di tahap pertama yang lain, bukan naik kelas ke tahap yang ke dua.



31.1.18

Untuk Adik Perempuanku




Hai.. Apa kabarmu? 19 tahun, ya? Dulu, duluuu sekali saat aku seusiamu, aku adalah seorang laki-laki, sekarang juga masih, dan akan terus laki-laki. Haha. Ini sungguh paragraf pembuka yang aneh sekali. Maafkan abangmu ini.

Sudah menjadi mahasiswa, ya? Rasanya baru kemarin, (aku ingin meneruskan kalimat “rasanya baru kemarin” dengan “kau masih mengenakan seragam SD, masih suka jajan es dan aneka permen, masih suka berantem sama aku, entah karena rebutan apa dan bagaimana”). Tapi sungguh kalimat “rasanya baru kemarin” itu klise sekali, jadi kubatalkan saja.

Selamat menjadi perempuan seutuhnya, selamat mempunyai abang yang ganteng, selamat mempunyai ibu yang maha penyayang, selamat mempunyai mbak yang perhatian. Selamat ulang tahun. Selamat merasakan jauh dari rumah. Jauh memang seringkali dijadikan acuan untuk mengukur kehebatan, kesuksesan, keberanian dan lainnya. Tapi percayalah, lebih enak dekat.

Selamat ulang tahun. Tak perlu menunjukkan kepada siapapun kalau kau cantik, karena cantikmu bukan di situ. Tak perlu terlalu tahu berbagai macam bedak dan tetek bengeknya untuk wajah, karena pengetahuanmu bukan di situ. Tak perlu keluar uang banyak untuk model pakaian yang sedang nge-trand, karena kualitas dirimu bukan di situ. Tak perlu malu merasa bangga terhadap dirimu sendiri, apa adanya kamu. Tak perlu malu mengakui kau lemah. Tak perlu sungkan meminta bantuan saudaramu. Tak perlu merasa bersalah jika seharian atau bahkan berhar-hari kau hanya tidur dan menghabiskan waktu dengan bermalas-malasan di kamar, karena itu sungguh nikmat. Tak perlu takut menuntut kepada siapapun jika memang itu hakmu. Tak perlu malu mengakui kau dari kampung dan desa, kampung dan desa adalah kehidupan bagi kota-kota. Jangan lupa berbagi. Jangan lupa menolong. Jangan lupa menikmati makanan kesukaanmu. Jangan lupa mencium pipi dan kening ibu. Jangan lupa mengajaknya bercengkrama tentang apa saja. Ajak dia berbicara tentang hal-hal yang telah kau lakukan, itu hal istimewa bagi seorang ibu. Ibu sudah bertambah tua, dan kau tahu, tua dan sepi adalah paket, jangan sampai itu terjadi padanya. Jangan lupa saudaramu. Jangan lupa masa kecilmu. Jangan lupa kau pernah kubonceng naik sepeda. Jangan lupa kau pernah kubuat menangis. Jangan lupa aku pernah mengambil makanan yang kau simpan. Jangan lupa belajar memasak, ini sungguh penting. Sejauh ini, yang kutahu, kau baru bisa masak telor goreng dan mi instan. Kau akan jadi ibu, semahal dan seenak apa pun masakan yang kau beli untuk anak-anakmu kelak, mereka akan tetap rindu masakanmu, belajarlah memasak, nasi goreng saja tidak cukup. Jangan pamer apa pun kepada siapapun, apa lagi hal remeh seperti foto tiket pesawat, makanan restaurant yang kau makan, tempat yang sedang kau kunjungi atau perkejaan yang sedang kau lakukan, jangan tiru abangmu. Ikutlah kelompok diskusi yang sampai lupa jam makan dan jam istirahat, berdebatlah dengan laki-laki yang ada di sana sampai urat-urat kalian mau copot, lalu perhatikan tingkahnya setelah diskusi selesai, jika ia bisa tetap bersikap manis dan biasa saja setelah perdebatan itu, cium dia dengan penuh gairah setelah kalian menikah. Itu manis sekali.

Jangan sering nonton teve, kecuali acara bola dan musik kesukaanmu. Jangan lupa istirahat. Jangan lupa belajar sejarah. Kau sudah mahasiswa, jika kuminta sebutkan satu nama aktivis 98 yang diculik dan belum kembali, namun kau tidak tahu ̶ rasanya kau belum pantas menyandang gelar itu. Aku tahu ini terlalu memaksa, tapi ya bagaimana, memang tidak baik melupakan sejarah. Jangan terlalu sibuk dan khawatir memikirkan masa depan, santai saja. Planning memang perlu dan penting, tetapi terlalu khawatir tentang masa depan, sama saja kita telah menghina tuhan. Jangan terlalu sering menggunakan sosial media, tidak baik bagi psikologismu, jangan tiru abangmu. Jangan lupa bangun siang, itu sungguh nikmat. Jangan lupa bermimpi. Jangan lupa cita-citamu. Jangan lupa pulang. Jangan lupa kunjungi saudara-saudaramu. Jangan lupa sampai kapanpun kau tetap anak perempuan kecil bagi ibumu, meskipun kau sendiri kelak sudah punya anak.

Wajahmu itu, tidak untuk kau rawat dan permak dengan brutal dan membabi buta. Tunjukkan sedikit rasa syukurmu pada tuhan. Jika kau ingin cantik dengan cara memutihkan wajah dan lainnya, tolong diingat-ingat lagi, rasanya ibu tidak pernah mengajarkan yang demikian. Aku cerewet sekali sebagai abang, ya? Haha maaf kan.

Kalau dari awal kau baca tulisan ini ada yang tidak setuju atau bahkan tidak setuju semua, nggak papa, anggap saja ini ocehan bangun tidur dariku. Tapi pesan terakhir ini sungguh penting, jangan lupa membaca. Apa pun. Belilah buku-buku, apa pun. Bacalah mereka. Anggunlah di kedalaman.

19.5.17

(Cerpen) Racauan Pemuda Tanggung



Pertama, “Fakhri, nak, bangun.”

Kedua, “Fakhrii, bangun, nak.”

Ketiga, “Fakhriii, bangun. Banguuun!!!”

Ibu bilang aku terbangun pada ketujuh kalinya ibu membangunkan aku. Aku sedang bermimpi berada di surga, tempat terindah yang pernah ada bagi orang yang pantas. Di sana, istriku ada tujuh puluh tujuh orang, semuanya wanita, semuanya berambut panjang, semuanya cantik tak tertahankan. Aku kewalahan.

Belek di mata belum tuntas kubersihkan, suara Symphony 40 Mozart terdengar dari kamar sebelah, kamar adik perempuanku. Oh Mozart, kau ciptakan alunan maha indah seperti itu saat kau sedang bercinta dengan siapa? Dengan gaya apa kau melakukannya? Oh Mozart, beri tahu aku.

“Fakhriii...!!” Ibu kembali memanggil, dengan suara yang lebih keras. “Bangun, mandi!!”

Oh Mozart, aku baru bangun, ibu sudah menyuruhku mandi, aku sedang mendengarkanmu, tolong beri tahu ibu bahwa aku sedang mendengarkanmu. Perkara sepele seperti mandi tak pantas mengganggu kenikamatan alunan maha indah darimu. Oh Mozart, aku benci mandi.

Mozart, dari kamar sebelah, kamar adikku, tak terdengar lagi symphonymu, kau dimatikan oleh dia. Jangan mati dulu, Mozart, jawab pertanyaanku, kau bercinta dengan siapa? Dengan gaya apa kau melakukannya?

“Fakhriii!!!” Ah ibu, tak usah berteriak aku tetap mendengar suaramu. “Kau tidak segera bangun, makannya ibu teriak.” Oh Mozart, padahal aku Cuma berkata dalam hati, tapi ibu bisa mendengarnya, ibuku hebat sekali, Mozart. Kau mau punya ibu seperti ibuku? Tapi kau harus siap disuruh mandi setiap bangun tidur. Kau mampu? Seniman sepertimu kurasa tak sanggup melakukannya.

“Handphone terus yang kau pegang, sedang apa kau? Instagram-an?” Aku tidak menjawabnya, karena aku sedang tidak instagram-an. “Hidupmu habis hanya untuk menonton hidup orang lain, tahu!”

“Oh Ibu, aku sedang tidak instagram-an, aku sedang youtube-an.”

“Apa yang kau tonton dari youtube? Daily video orang-orang kurang jelas? Hidupmu benar-benar habis buat nonton hidup orang lain. Sia-sia saja.”

Oh Mozart, kau dengar itu? Ibu tahu tentang daily video di youtube? Apakah ibu juga menonton youtube? Atau ibu hanya sekadar tahu? Ah tapi ibu ada benarnya, buat apa juga aku nontonin hidup orang lain yang kata ibu kurang jelas itu? Nanti hidupku habis hanya buat nonton mereka, masih banyak hal menyenangkan lain yang bisa dilakukan, bukan?

Tapi Mozart, kau bercinta dengan siapa? Dengan gaya apa kau melakukannya?

“Sudah, buruan mandi, lupa lagi kalau hari ini kita mau kondangan? Setengah jam lagi berangkat.” Kata ibu.

Apa-apaan ini Mozart? Sepagi ini ibu mengganggu aku mendengarkan alunanmu, menyuruh mandi, dan sekarang menyuruh aku ikut kondangan? Tempat ramai yang kosong tidak ada apa-apa kecuali buat pamer dan bergosip. Tempat pakaian-pakaian ribet dikenakan, tempat bedak-bedak tebal dipamerkan, tempat gengsi dijunjung tinggi setinggi-tingginya. Oh Mozart, kau masih mau punya ibu seperti ibuku? Kau mampu? Seniman sepertimu kurasa tak sanggup melakukannya.

Kau pernah kondangan, Mozart? Berapa kali dalam hidupmu? Ah aku terlalu banyak bertanya padamu, ya? Maafkan aku, Mozart, maafkan.

Mozart, aku sudah selesai mandi, sudah kukenakan pakaian yang menurutku bagus, tapi tetap saja kurang di mata ibu, aku kurang bisa memilih pakaian katanya. Jadi aku ganti dengan pakaian yang menurut ibu pantas dan bagus. Hari ini aku mengantar Ibu, kakak dan adik perempuanku ke kondangan. Aku ingin membuat ibu senang, jangan marahi aku, ya Mozart. Aku sayang keluargaku.


Tapi Mozart, kau bercinta dengan siapa? Dengan gaya apa kau melakukannya? Dan bolehkah aku memanggilmu Amadeus?

23.4.17

Terpujilah Jiwa-jiwa


Terpujilah jiwa-jiwa yang berani mencoba dulu berjalan menggunakan kaki sendiri, 
walau terpincang-pincang di awal, 
walau terjatuh di awal, 
walau hancur-lebur dan rusak-binasa di awal, 
tapi terpujilah jiwa-jiwa itu.

Terpujilah terpujilah terpujilah.












24.1.17

Review Buku Kiat Sukses Hancur Lebur – Martin Suryajaya




Saya bertemu buku ini dalam sebuah acara pameran buku yang diselenggarakan di Gedung Wanita Semarang. Saat itu, Kiat Sukses Hancur Lebur terpampang jelas di rak buku sebuah stand yang berada tepat di depan pintu masuk gedung ini. Saya terkejut saat membaca judulnya, untuk menjadi hancur lebur pun ada kiat-kiatnya, itulah pikiran saya waktu itu. 


Lantas saya berjalan mengelilingi stand-stand buku yang ada, saya membeli dua buku terbitan baNana yang lainpenerbit yang sama dengan Kiat Sukses Hancur Lebur, Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi dan The Catcher  in the Rye. Kiat Sukses Hancur Lebur saya “tinggalkan” begitu saja. 


Beberapa bulan setelah itu, seorang teman mengajak saya untuk menghadiri acara Bincang Buku bersama penulisnya di malam tahun baru, Kiat Sukses Hancur Lebur, Martin Suryajaya.

Pembuka novel ini adalah sebuah paragraf yang dibuat melantur, seperti orang mabuk ciu literan yang dioplos sesuka hati:

18.1.17

Bagaimana Tipe Kekasih yang Kamu Dambakan



#KampusFiksi 10 Days Writing Challenge

#DAY1 - Jelaskan Bagaimana Tipe Kekasih yang Kamu Dambakan.

Jika ditanya seperti apa kekasih dambaanmu? Jawaban tiap orang pasti akan berbeda-beda, baik kriteria fisik maupun sifatnya. Namun apapun jawaban itu, beragam seperti apapun, saya rasa tetap menuju pada satu kalimat yang sama, “Untuk menjadi lebih baik”.

Sewaktu sekolah dulu, saya pernah merasakan sakitnya patah hati. Saat itu juga, mulai menutup diri dari segala macam bentuk perempuan. Dan membuat daftar kriteria perempuan yang nantinya jadi pasangan saya. Yang tidak lenjeh sana-sini, tidak centil ke semua laki-laki, tidak senang bercanda berlebihan, dan yang lebih senang di rumah ketimbang jalan-jalan. Itulah beberapa daftarnya.

Hal itu berlangsung kurang lebih 3 tahun, sampai saya menjadi mahasiswa tingkat akhir. Pada fase ini, teman-teman yang lain sebagian besar memiliki pacar, beberapa dari mereka sering bertanya berulang kali kepada saya, kenapa saya tidak mencari pacar? Kenapa saya menutup diri? Kenapa benci pada perempuan hanya gara-gara satu orang? Hih gak punya pacar, njijiki. Jika yang bertanya seperti itu adalah orang yang setia, saya yakin saya tidak memiliki jawaban. Tapi mereka, teman saya ini, para pemain di bidangnya masing-masing. Sehingga saya tiba pada satu kesimpulan, jangan pacaran kalau belum bisa setia.

Karena menurut saya, pacaran itu bukan sekadar aku pacar kamu, kamu pacar akau. Pacaran itu menyatukan dua prinsip yang berbeda dan menghargai satu sama lain, jika tidak bisa, jangan lakukan.

Dan perihal kekasih dambaan, entahlah jawaban macam apa yang akan saya ucapkan, kriteria-kriteria tentang perempuan idaman saya, luntur seketika pada satu perempuan yang mencintai kekurangan saya tanpa ampun namun tidak rela melihat saya berkekurangan di hadapan siapapun. Dia merubah segalanya. 

Lalu pertanyaannya, apakah semua orang yang sudah menikah di bumi ini, menikah dengan orang yang sesuai dengan kriteria masing-masing? Momon Kampus Fiksi, tolong dijawab.

Berkumpulah, berkumpulah

Hari itu, hari setelah penantian panjang bertahun-tahun untuk memiliki anak, turun perintah langit untuk Ib. Ia disuruh membawa istri dan a...