31.1.20

Berkumpulah, berkumpulah

Hari itu, hari setelah penantian panjang bertahun-tahun untuk memiliki anak, turun perintah langit untuk Ib. Ia disuruh membawa istri dan anaknya, Haj dan Is yang masih bayi ke lembah yang jauh dan meninggalkan mereka di sana. Ib patuh dengan perintah itu meskipun ia harus berpisah dengan anak yang belum lepas dari masa susuan. Ia berkata kepada Haj, “Ikutlah denganku.”

Mereka bertiga, Ib, Haj dan Is mulai berjalan dari negeri yang diberkahi untuk alam semesta, Palestine, menuju lembah yang gersang tandus nun di sana. Tidak ada sepatah kata pun terucap dari mulut Haj untuk menanyakan kemana akan pergi, kenapa harus pergi, berapa lama waktunya, tidak ada. Haj hanya patuh kepada suaminya. Dalam perjalanan, saat hendak makan, ia melayani suaminya, saat istirahat ia mempersiapkan keperluannya.

Beberapa hari setelah perintah itu, setelah keberangkatan Ib serta istri dan anaknya, di belahan bumi lain, di Yamen, bencana datang. Bendungan ma’rib yang dibangga-banggakan oleh masyarakatnya, sumber kehidupan, rusak, jebol, hancur karena kekufuran kepada Tuhan. Sebelumnya, di sekitar bendungan ini tumbuh subur berbagai macam buah dan sayur. Mashyur ke pelosok negeri lain. “Jika hendak merasakan buah terbaik, datanglah ke Yamen.” Begitulah kalimat yang tersebar untuk menggambarkan bagaimana keistimewaan buah dari Yamen ini. Namun, buah dan sayur itu berganti pohon bidara yang banyak duri serta pohon cemara. Tidak dapat dimakan. Atas kejadian ini, keluarlah suku jurhum, suku arab pertama dari Yamen. Mereka akan melakukan perjalanan dari selatan ke utara, dari Yamen ke Syam untuk mencari kehidupan yang lebih baik.

Perjalanan Ib dan Haj dari Palestine ke lembah itu, dengan kuda tercepat memerlukan waktu satu bulan. Namun mereka naik unta, dengan kata lain, perjalanan mereka akan lebih lama, lebih dari satu bulan.

***
Sebelum menikahi Haj, Ib sudah mempunyai istri bernama Sar. Ib dan Sar tinggal di sebuah kota bernama Babilonia. Raja Babilonia dan masyarakatnya tidak berkenan diajak kepada kebaikan oleh Ib. Bahkan dengan sombongnya ia mengaku sebagai tuhan. Atas kesombongan itu, ia dibinasakan dengan kematian yang sangat memalukan. Seekor lalat masuk dari lubang hidungnya, menetap di kepalanya selama tiga hari. Membuat ia tidak berselera untuk makan dan minum. Di hari ke tiga itulah, ia mati. Penasihat kerajaan dan pengawalnya melihat lalat itu keluar dari lubang hidungnya, tersebarlah berita, “Nam, raja kami, mati dibunuh oleh lalat.” Hina sekali.

Setelah kematian raja itu, turunlah perintah langit kepada Ib untuk melakukan perjalanan panjang ke Palestine. Inilah awal kisah pertemuan Ib dengan Haj.

Dalam perjalanan panjang bersama istrinya itu, suati hari sebelum sampai di Palestine, Ib ingin berkunjung ke Mesir. Negeri yang terpisah oleh laut kecil dengan Palestine. Di mesir, waktu itu juga ada raja yang sangat dzalim, suka mengambil wanita yang sudah menikah. Wanita yang sudah bersuami dianggap memiliki kelebihan oleh raja ini. Ib menasihati Sar akan hal itu, “Di negeri ini, ada prajurit khusus berkeliling mencari wanita yang sudah menikah. Jika kau ditanya oleh prajurit-prajurit itu, jawablah kau saudariku.” Maksud Ib adalah saudari seagama.

Kata Sar, “Baiklah.”

Saat benar-benar sampai di Mesir, mereka berdua didatangi oleh prajurit kerajaan. Mereka bertanya kepada Ib, “Siapa kau?”

“Saya saudaranya.” Jawab Ib.

Lalu prajurit itu bertanya kepada Sar dengan pertanyaan yang sama, “Siapa kau?”

“Saya saudarinya.” Jawab Sar.

Karena kecantikannya, prajurit itu tetap membawa Sar ke istana menghadap raja. Sedangkan Ib tidak diperbolehkan untuk menemani. Saat bertemu Sar, raja dzalim itu langsung tertarik akan wajahnya. Ia langsung mengulurkan tangan untuk menjamah. Sar berdoa, “Ya Tuhan, ambil alih orang ini.” Tiba-tiba tangan kanan raja itu kaku, tidak bisa bergerak.

“Apa yang kau lakukan ini?” Dengan penuh kepanikan raja itu bertanya kepada Sar.

Sar wanita mulia menjawab, “Aku berdoa kepada Tuhan agar diselamatkan dari keburukanmu.”

“Kalau begitu, berdoalah kepada Tuhanmu minta supaya saya disembuhkan, dan saya tidak akan mengganggu kamu lagi.”

Sar wanita mulia berdoa, “Ya Tuhan, sembuhkan orang ini.”

Sembuh langsung tangan kaku raja itu. Tetapi dasar orang tidak percaya tuhan, penyembah patung, ia hendak menjamah Sar lagi. Sar juga berdoa lagi. Sekarang kaku kedua tangan itu, tidak hanya sebelah kanan.

“Apalagi yang kau lakukan?” Tanya raja dalam ketakutan yang bertambah.

“Saya berdoa kepada Tuhan agar diselamatkan dari keburukanmu. Saya sudah bersuami dan ini tidak boleh dalam agama kami.”

“Baiklah, minta kepada Tuhanmu supaya saya disembuhkan.”

Sar wanita mulia berdoa, “Ya Tuhan, sembuhkan orang ini.”

Sembuh lagi tiba-tiba tangan raja, namun ia masih penasaran, belum puas, ia hendak menjamah wanita mulia ini untuk ke tiga kalinnya. Sar berdoa lagi kepada Tuhannya, kali ini kaku semua badan raja, sekujur tubuh, kecuali muka.

Raja itu berkata lagi dalam ketakutannya yang menjadi-jadi, “Mintalah kepada Tuhanmu supaya saya disembuhkan dan saya tidak akan mengganggu kamu lagi. Serta semua ini, prajurit-prajurit saya, dayang-dayang, semuanya menjadi saksi.”

Sar wanita mulia berdoa, “Baiklah, ya Tuhan, sembuhkan orang ini.”

Raja dzalim itu sembuh lagi secara tiba-tiba, semua anggota badannya normal, bisa digerakkan seperti sedia kala. Kemudia ia berujar kepada prajurit-prajuritnya, “Keluarkan perempuan ini dari istana saya, karena yang kalian bawa ini jin bukan manusia.”

Namun tidak hanya itu, rasa ketakutan masih menguasainya, ia berpikir jangan sampai di luar sana, Sar berdoa kepada tuhannya meminta supaya seluruh badannya kembali kaku. Maka raja itu menghadiahkan perempuan terbaik dari kerajaannya kepada Sar, dengan tujuan mengambil hatinya agar tidak mendoakan keburukan untuknya. Haj, nama perempuan itu, diberikan oleh raja untuk melayani Sar.

***
Pergilah Haj bersama Sar, saat itu Sar bersuaia tiga puluh tahun dan Haj setengah dari usia Sar. Dengan penuh kepatuhan, Haj melayani “majikannya” itu.

Mereka bertiga melanjutkan perjalanan lagi menuju Palestine, menetap di sana untuk waktu yang cukup lama. Sampai usia Sar menyentuh angka enam puluh tahun namun belum mempunyai anak. Sar gelisah melihat perangai Ib sebagai lelaki dan suami yang begitu mendambakan seorang anak untuk melanjutkan keturunannya. Oleh karena itu, ia membebaskan Haj dan menjadikannya manusia merdeka kemudian menghadiahkannya untuk Ib. Mereka berdua, Ib dan Haj, menikah. Setahun dari pernikahan itu, mereka dikaruniai anak, anak inilah yang diberi nama Is.

Melihat hal itu, Sar sebagai perempuan bersuami, muncul keinginan untuk mempunyai anak seperti Haj. Di usia enam puluh tahun ini, Ia pun berdoa kepada Tuhannya, “Ya Tuhan, mudahkanlan anak untuk Ib dari saya.”

Doa itu terkabul, Sar hamil di usia enam puluh tahun setelah dengan penuh keikhlasan menghadiahi istri untuk suaminya. Sekarang Ib mempunyai dua orang anak, dari Sar istri pertamanya dan dari Haj istri kedua. Sedang menikmati bahagianya mempunyai anak inilah, turun perintah itu, perintah langit kepada Ib untuk membawa Haj dan Is ke lembah yang nun jauh di sana. Namun lembah yang mulia.

***
Setelah hari-hari yang panjang dalam perjalanan, tibalah mereka bertiga di lembah itu. Perjalanan yang penuh kepatuhan seorang istri kepada suaminya, adab yang sangat mulia dari Haj. 

Namun apa yang dikatakan Ib kepada Haj sungguh tidak dapat diterima oleh akal manusia biasa, dengan kondisi lelah perjalanan yang begitu terasa, baru sampai belum sempat beristirahat, Ib berkata, “Turunlah di sini, turunlah di sini. Dan di sini, aku akan meninggalkanmu.”

Setelah mengatakan itu, Ib membalikkan untanya ke utara, mengarah ke Palestine.

“Saya akan meninggalkan kamu di sini, tinggalah, saya akan pulang.” Ib menuntun untanya, kembali berjalan menuju Palestine.

Haj sebagai manusia muncul sebuah pertanyaan. Ini lembah, satu pohon kering pun tidak ada apalagi pohon basah. Tidak ada hewan , tidak ada manusia, semua padang pasir dan gunung batu.

Haj mengikuti Ib dari belakang dan berkata, “Wahai Ib suamiku, apa kau tinggalkan kami di lembah, yang tidak ada manusia, tidak ada hewan, tidak ada pohon?”

Ib sambil menangis terus berjalan, tidak menjawab. Haj ikuti dari belakang dan mengulang pertanyaan yang sama dengan santun, Ib masih terus berjalan sambil menangis.

Yang ketiga kali Haj bertanya, masih dengan pertanyaan yang sama. Ib tetap tidak menjawab, masih terus berjalan sambil menangis. Sebenarnya Ib bisa menjawab, tapi berat. Karena ia disuruh oleh Tuhan untuk meninggalkan istri dan anaknya di lembah dan tidak ada penjelasan apa pun mengenai itu. Hanya antar, turunkan, dan tinggalkan, sudah.

Dalam kebingungan yang meresahkan itu, Haj berkata pelan penuh kehati-hatian, “Sebentar Ib, apakah Tuhanmu yang memerintahkan kamu mengerjakan ini?”

Ib tetap tidak mengatakan apa pun, hanya menganggukkan kepala. Kembali dengan suara santun Haj berkata, “Kalau begitu, Tuhan tidak akan membiarkan kami. Pulanglah Ib, saya akan tinggal dengan anak saya di sini.”

Ib pulang dengan masih terus menangis, dalam tangis itu ia berkata, “Ya Tuhan, aku tinggalkan keluargaku di sebuah lembah, tidak ada manusia, tidak ada hewan, tidak ada pohon. Tapi di tempat, di lokasi rumahmu yang mulia.”

Haj diam di tempatnya berdiri, melihat Ib dan untanya yang semakin jauh, semakin semu, semakin menghilang. Kemudian ia melihat perbekalan yang ada, airnya sudah menipis, tidak akan sampai untuk hari-hari ke depan. Ia memperhatikan sekitar, ada tidak kehidupan, manusia, kafilah lewat, pohon untuk bernaung. Tidak ada, hanya pasir sejauh mata memandang.

Ada dua bukit di dekat tempatnya berdiri. Penuh semangat ia menyusun batu dan meletakkan Is, bayinya, di dekat batu itu agar terlindung dari panas. Kemudian ia berlari kecil naik bukit yang satu. Di atas bukit ini, ia melihat ke arah bukit ke dua, di sana ia melihat genangan air. Penuh semangat ia turun untuk naik ke bukit ke dua, ternyata di sana juga tidak ada air, fatamorgana.

Dari atas bukit ke dua itu, ia melihat bukit pertama, kejadian yang sama, di bukit pertama terlihat ada air. Ia turun dari bukit ke dua dan naik ke bukit pertama, semu, tidak ada air. Ia kembali lagi ke bukit ke dua dan mengulangi perbuatan itu sebanyak tujuh kali tanpa menemukan air setetes pun. Setelah yang ke tujuh itu, setelah lelah sudah menguasai tubuhnya, ia kembali ke Is yang tadi diletakkan di atas tanah. Saat ia kembali, ia melihat mata air keluar dari bawah kaki Is. Haj buru-buru mendatangi mata air itu, ia membuat bendungan dari tanah dan pasir dengan tangannya sambil mengucapkan bahasanya orang Mesir, tanah kelahirannya, bahasa asli qibti, “Zam, zam. Berkumpulah, berkumpulah.”

***
Suku jurhum, suku arab pertama dari Yamen yang melakukan perjalanan dari selatan ke utara, dari Yamen ke Syam karena bendungan ma’rib mereka jebol, melewati lembah itu, lembah dimana Haj dan Is ditinggalkan oleh Ib. Mereka tahu ini lembah padang pasir, tidak ada kehidupan. Namun mereka terheran-heran melihat burung berputar-putar di atas lembah itu. Jika ada burung berputar-putar di padang pasir, itu menandakan ada air di bawahnya. Hal inilah yang membuat pemimpin suku jurhum berkata kepada pasukannya, “Sepertinya kita tidak pernah tahu di sini ada air, tapi perilaku burung ini aneh. Coba sana pergi lihat.”

Datanglah beberapa orang suku jurhum ke lembah itu, mereka temukan Haj dan Is sedang duduk di dekat mata air yang terus keluar itu. Suku jurhum ini terkenal dengan adab dan tata kramanya, mereka tidak menyerang Haj dan Is. Tidak pula mengusir atau merebut air itu secara paksa.

Beberapa orang dari suku jurhum yang melihat Haj, Is dan mata air itu berbalik melapor kepada pemimpin mereka, bahwa benar ada mata air yang sedang ditunggui oleh seorang ibu dan bayinya. Pemimpin itu datang menemui Haj dan berkata, “Wahai ibu, kami ini suku jurhum dari Yamen. Kami akan pergi ke negeri Syam karena bendungan ma’rib kami rusak, hancur. Tapi kami lihat di sini ada mata air, bisa tidak anda ijinkan kami hidup bersama anda di sini? Kami bersedia membayar upeti, artinya kami akan mengembangbiakkan ternak dan membuat perkebunan, hasil ternak baik daging atau susunya dan hasil perkebunan akan kami berikan kepada anda. Yang penting, kami diijinkan untuk tinggal di dekat mata air ini.”

Haj wanita mulia yang taat kepada Tuhan dan suaminya berkata, “Baiklah, tinggallah di sini bersama saya.”

Pada hari itu, pada sore itu, hari Ib meninggalkan istri dan anaknya. Sebelum terbenamnya matahari, suku jurhum di dekat mata air mulia itu, membangun rumah, membuat peternakan, memulai perkebunan. Jadilah sebuah kota. Sebelum terbenamnya matahari. Kota yang beribu-ribu tahun kemudian, menjadi tempat kelahiran manusia paling mulia sepanjang sejarah peradaban dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkumpulah, berkumpulah

Hari itu, hari setelah penantian panjang bertahun-tahun untuk memiliki anak, turun perintah langit untuk Ib. Ia disuruh membawa istri dan a...