19.6.19

Yang Pandai Mengeluh




1.
Aku pernah berada pada masa yang aku ingin segera melewatinya. Kemudian masa itu benar-benar terlewati. Aku berada di masa yang baru. Dan di masa ini, aku merindukan masa yang ingin segera aku lewati itu.

Begitu terus sampai kuda bisa menggosok gigi pakai odol dan keramas menggunakan sampo nomor satu di uranus.

Aku sudah mati beberapa bulan yang lalu saat usiaku genap 25 tahun. Aku akan dikuburkan kurang lebih lima puluh tahun dari sekarang. Aku sudah selesai. Sudah usai.

2.
Aku sangat menyukai penggalan puisi Robert Frost yang berjudul The Road Not Taken:

Two roads diverged in a wood, and I –
I took the one less traveled by,
And that has made all the difference.

Terjemah bebasnya:

Dua jalan bercabang di dalam hutan, dan aku –
Kupilih jalan yang jarang ditempuh.
Dan perbedaannya besar sungguh.

Aku berpikir betapa kerennya orang yang berani mengambil jalan yang jarang ditempuh itu, bisa diartikan dengan betul-betul jalan bercabang di dalam hutan, dan ini kurasa penafsiran paling dangkal dari puisi itu. Atau ditafsirkan pilihan-pilihan dalam hidup yang jarang dilakukan orang sekelilingmu namun kau berani mengambilnya. Aku benar-benar terobsesi dengan puisi itu. Mulai melakukan hal-hal kecil yang beda, biar jelek yang penting beda. Biar menyiksa yang penting beda. Naif memang, naif sekali bahkan. Semua itu belakangan kusadari karena aku sedang belajar tentang ilmu baru, aku mendapatkan apa yang kuanggap bagus, mencoba melakukannya dengan harapan akan dilihat keren oleh orang lain. Di tahap sedang belajar ini, banyak yang bilang ini tahap pertama, sebagian besar orang akan sombong. Menganggap dirinya lebih dari orang lain.

Contoh kasus lain sedang berada di tahap pertama, misal baru diterima bekerja di perusahaan keren, moncer senasional, tiap hari tidak luput posting foto sedang bekerja komplit dengan background tulisan nama perusahaannya. Banyak orang akan menertawakan sebetulnya, tapi lebih baik jangan, karena kita semua begitu, kita masih kerdil, masih butuh pengakuan. Haha-hihi-in saja.

Beberapa tahun dari sekarang, satu tahun, dua tahun atau lima tahun tergantung kecepatanku bertumbuh, aku juga akan merasa malu pernah menulis hal yang demikian. Sembari berpikir mengapa aku menulis seperti ini. Namun memang begitu proses manusia tumbuh.

Kembali ke puisi itu, nyatanya ketika betul-betul dihadapkan pada pilihan-pilihan, aku tidak berkutik. Maksudku, aku tidak seberani nyaliku saat pertama memahami dan meyakininya. Mulai ada penurunan-penurunan nilai, penurunan ideologi, penurunan prinsip. Muncul pemakluman-pemakluman yang meruntuhkan pemahamanku dulu. Cupu memang. Namanya manusia.

Lalu aku membaca sebuah kalimat dari orang,  kalimat itu berhasil membantingku bolak-balik, memukul hidungku sampai keluar darah.

Tempuh arahmu,
sampai bertemu simpangan.
Di situ kau diuji,
oleh alasanmu sendiri.

Ternyata aku masih anak kecil, anak kecil yang minum susu dari botol, anak kecil yang belum paham jika hendak kencing atau eek harus bilang dulu ke bapak-ibu. Bodoh. Aku masih di tahap pertama dan belum tahu kapan akan naik kelas ke tahap ke dua.  Diuji oleh pikiran-pikiran sendiri saja masih kalah. Kemudian aku tidur, lama tidak bangun-bangun.

3.
Mungkin tidak akan ada lagi pulang dengan dada tegap, kepala penuh cerita yang siap dimuntahkan, pencapaian-pencapaian yang enak dikabarkan, bibir yang dengan senang hati tersenyum. Atau, gembira dari tingkah laku. Lelaki yang dulu penuh mimpi dan harapan, kini hanya sepotong tubuh tanpa nadi, begitu menyedihkan jika kau lihat lebih dalam. Hitam, kosong, ringan dan terombang-ambing. Sedikit kau tiup, berhamburan ia di udara.

Jika yang lain gemar memainkan game terbaru di ponselnya, ia masih bertahan  selama empat tahun dengan permainan mencocokkan buah-buahan dalam tiga baris agar mendapat poin. Menyedihkan, bukan? Tapi begitulah ia, tidak gampang menyukai sesuatu hanya karena banyak yang telah menyukainya.

Ia dari desa, namun tidak menyukai orang-orang desa, orang desa banyak yang bodoh katanya. Berbicara seperti berteriak. Berteriak tapi tidak tahu jika ada yang terganggu. Masalah hidup mereka sedikit, sangat sedikit, makanya mereka gemar mencampuri masalah orang lain. Mereka tidak tahu mana ranah pribadi orang, mana sopan, mana santun, dan mana memalukan bagi mereka sendiri. Menentukan hukum tanpa dasar ilmu, kalimat andalan mereka, katanya dia begini, katanya dia begitu, kata pak ini nggak gitu, kata pak ono bla bla bla. Meraka akan mencari tahu tentang hidupmu sampai pada level berapa kali kamu mencuci sempak dan berapa kali ganti tabung gas lpg. Lucu sekali. Banyak yang bilang jika hidup di desa itu aman, nyaman, tentram, tapi hey, desa yang mana?

4.
Yang saya bilang “ia” pada nomor 3 itu teman saya, bukan saya. Ia sering mengeluh tentang hidupnya, tentang keluarga dan orang-orang di desanya. Tapi syukurlah di desaku tidak.

5.
Usiaku sudah lebih dari 25 tahun, seperempat abad. Seperti yang kubilang tadi, aku sudah mati di usia ini dan akan dikubur kurang lebih lima puluh tahun lagi. Beberapa yang lain akan mati di usia empat puluh tahun, umur yang sama dengan Muhammad saat diangkat menjadi nabi. Sudah tidak ada lagi urusan dunia dalam hidup. Wis mangkat kata orang jawa. Dan akan dikubur dikubur kurang lebih tiga puluh tahun lagi.

Di usia empat puluh ini, manusia harusnya sudah selesai dengan apa pun kaitannya dengan duniawi, sudah mulai menikmati hidup damai dengan cara apa pun yang sesuai, menanam bahan pangan di kebun sendiri untuk konsumsi mungkin. Jauh dari kebisingan kota. Bangun pagi, mengurus tanaman, merawat dan memanen. Sarapan lalu membaca buku, bersantai di belakang rumah. Bercengkrama dengan pasangan, bercinta juga boleh. Dalam bahasa jawa, hal ini disebut klangenan, koreksi jika saya salah.

Namun nyatanya, kita masih terikat sebagai orang tua dengan anak, jika kita punya anak. Masih memliki hak dan tanggung jawab kepada mereka. Biaya hidup, pendidikan, kesehatan, jaminan keamanan, pendampingan, dan ini dan itu. Karena di usia empat puluh ini, anak masih di umur belasan tahun awal, terlalu kecil bahkan untuk mengurus hidupnya sendiri.

Ini akan menjadi rantai ikatan yang sangat panjang dan erat, susah untuk lepas darinya. Taruhlah kita sudah mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya sebelum mencapai empat puluh, dan uang itu cukup untuk menanggung semua biaya anak, tentu dengan kalkulasi yang sedikit rumit. Apakah lalu kita bisa melakukannya? Ada orang tua dan mertua yang harus dijaga perasaannya. Dan hal lain yang belum bisa diduga.

Itulah mengapa kita disebut manusia. Jika sudah muncul kesimpulan model begini, diskusi tidak bisa dilanjutkan wqwqwq.

6.
Beberapa tahun lagi, aku akan malu telah menulis begini. Karena aku sudah pindah di tahap pertama yang lain, bukan naik kelas ke tahap yang ke dua.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkumpulah, berkumpulah

Hari itu, hari setelah penantian panjang bertahun-tahun untuk memiliki anak, turun perintah langit untuk Ib. Ia disuruh membawa istri dan a...