1.
Aku pernah berada pada masa yang
aku ingin segera melewatinya. Kemudian masa itu benar-benar terlewati. Aku
berada di masa yang baru. Dan di masa ini, aku merindukan masa yang ingin
segera aku lewati itu.
Begitu terus sampai kuda bisa
menggosok gigi pakai odol dan keramas menggunakan sampo nomor satu di uranus.
Aku sudah mati beberapa bulan
yang lalu saat usiaku genap 25 tahun. Aku akan dikuburkan kurang lebih lima
puluh tahun dari sekarang. Aku sudah selesai. Sudah usai.
2.
Aku sangat menyukai penggalan
puisi Robert Frost yang berjudul The Road
Not Taken:
Two
roads diverged in a wood, and I –
I
took the one less traveled by,
And
that has made all the difference.
Terjemah bebasnya:
Dua
jalan bercabang di dalam hutan, dan aku –
Kupilih
jalan yang jarang ditempuh.
Dan
perbedaannya besar sungguh.
Aku berpikir betapa kerennya
orang yang berani mengambil jalan yang jarang ditempuh itu, bisa diartikan
dengan betul-betul jalan bercabang di dalam hutan, dan ini kurasa penafsiran
paling dangkal dari puisi itu. Atau ditafsirkan pilihan-pilihan dalam hidup
yang jarang dilakukan orang sekelilingmu namun kau berani mengambilnya. Aku
benar-benar terobsesi dengan puisi itu. Mulai melakukan hal-hal kecil yang beda,
biar jelek yang penting beda. Biar menyiksa yang penting beda. Naif memang,
naif sekali bahkan. Semua itu belakangan kusadari karena aku sedang belajar
tentang ilmu baru, aku mendapatkan apa yang kuanggap bagus, mencoba
melakukannya dengan harapan akan dilihat keren oleh orang lain. Di tahap sedang
belajar ini, banyak yang bilang ini tahap pertama, sebagian besar orang akan
sombong. Menganggap dirinya lebih dari orang lain.
Contoh kasus lain sedang berada
di tahap pertama, misal baru diterima bekerja di perusahaan keren, moncer
senasional, tiap hari tidak luput posting
foto sedang bekerja komplit dengan background
tulisan nama perusahaannya. Banyak orang akan menertawakan sebetulnya, tapi
lebih baik jangan, karena kita semua begitu, kita masih kerdil, masih butuh
pengakuan. Haha-hihi-in saja.
Beberapa tahun dari sekarang,
satu tahun, dua tahun atau lima tahun tergantung kecepatanku bertumbuh, aku
juga akan merasa malu pernah menulis hal yang demikian. Sembari berpikir mengapa
aku menulis seperti ini. Namun memang begitu proses manusia tumbuh.
Kembali ke puisi itu, nyatanya ketika
betul-betul dihadapkan pada pilihan-pilihan, aku tidak berkutik. Maksudku, aku
tidak seberani nyaliku saat pertama memahami dan meyakininya. Mulai ada
penurunan-penurunan nilai, penurunan ideologi, penurunan prinsip. Muncul
pemakluman-pemakluman yang meruntuhkan pemahamanku dulu. Cupu memang. Namanya
manusia.
Lalu aku membaca sebuah kalimat
dari orang, kalimat itu berhasil
membantingku bolak-balik, memukul hidungku sampai keluar darah.
Tempuh
arahmu,
sampai
bertemu simpangan.
Di
situ kau diuji,
oleh
alasanmu sendiri.
Ternyata aku masih anak kecil,
anak kecil yang minum susu dari botol, anak kecil yang belum paham jika hendak
kencing atau eek harus bilang dulu ke bapak-ibu. Bodoh. Aku masih di tahap
pertama dan belum tahu kapan akan naik kelas ke tahap ke dua. Diuji oleh pikiran-pikiran sendiri saja masih
kalah. Kemudian aku tidur, lama tidak bangun-bangun.
3.
Mungkin tidak akan ada lagi
pulang dengan dada tegap, kepala penuh cerita yang siap dimuntahkan,
pencapaian-pencapaian yang enak dikabarkan, bibir yang dengan senang hati
tersenyum. Atau, gembira dari tingkah laku. Lelaki yang dulu penuh mimpi dan
harapan, kini hanya sepotong tubuh tanpa nadi, begitu menyedihkan jika kau
lihat lebih dalam. Hitam, kosong, ringan dan terombang-ambing. Sedikit kau
tiup, berhamburan ia di udara.
Jika yang lain gemar memainkan game terbaru di ponselnya, ia masih
bertahan selama empat tahun dengan permainan
mencocokkan buah-buahan dalam tiga baris agar mendapat poin. Menyedihkan,
bukan? Tapi begitulah ia, tidak gampang menyukai sesuatu hanya karena banyak
yang telah menyukainya.
Ia dari desa, namun tidak
menyukai orang-orang desa, orang desa banyak yang bodoh katanya. Berbicara
seperti berteriak. Berteriak tapi tidak tahu jika ada yang terganggu. Masalah
hidup mereka sedikit, sangat sedikit, makanya mereka gemar mencampuri masalah
orang lain. Mereka tidak tahu mana ranah pribadi orang, mana sopan, mana santun,
dan mana memalukan bagi mereka sendiri. Menentukan hukum tanpa dasar ilmu, kalimat
andalan mereka, katanya dia begini, katanya dia begitu, kata pak ini nggak
gitu, kata pak ono bla bla bla. Meraka akan mencari tahu tentang hidupmu sampai
pada level berapa kali kamu mencuci sempak dan berapa kali ganti tabung gas
lpg. Lucu sekali. Banyak yang bilang jika hidup di desa itu aman, nyaman,
tentram, tapi hey, desa yang mana?
4.
Yang saya bilang “ia” pada nomor 3
itu teman saya, bukan saya. Ia sering mengeluh tentang hidupnya, tentang keluarga
dan orang-orang di desanya. Tapi syukurlah di desaku tidak.
5.
Usiaku sudah lebih dari 25 tahun,
seperempat abad. Seperti yang kubilang tadi, aku sudah mati di usia ini dan
akan dikubur kurang lebih lima puluh tahun lagi. Beberapa yang lain akan mati
di usia empat puluh tahun, umur yang sama dengan Muhammad saat diangkat menjadi
nabi. Sudah tidak ada lagi urusan dunia dalam hidup. Wis mangkat kata orang jawa. Dan akan dikubur dikubur kurang lebih
tiga puluh tahun lagi.
Di usia empat puluh ini, manusia
harusnya sudah selesai dengan apa pun kaitannya dengan duniawi, sudah mulai
menikmati hidup damai dengan cara apa pun yang sesuai, menanam bahan pangan di
kebun sendiri untuk konsumsi mungkin. Jauh dari kebisingan kota. Bangun pagi,
mengurus tanaman, merawat dan memanen. Sarapan lalu membaca buku, bersantai di
belakang rumah. Bercengkrama dengan pasangan, bercinta juga boleh. Dalam bahasa
jawa, hal ini disebut klangenan, koreksi
jika saya salah.
Namun nyatanya, kita masih
terikat sebagai orang tua dengan anak, jika kita punya anak. Masih memliki hak
dan tanggung jawab kepada mereka. Biaya hidup, pendidikan, kesehatan, jaminan
keamanan, pendampingan, dan ini dan itu. Karena di usia empat puluh ini, anak
masih di umur belasan tahun awal, terlalu kecil bahkan untuk mengurus hidupnya
sendiri.
Ini akan menjadi rantai ikatan
yang sangat panjang dan erat, susah untuk lepas darinya. Taruhlah kita sudah
mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya sebelum mencapai empat puluh, dan uang itu
cukup untuk menanggung semua biaya anak, tentu dengan kalkulasi yang sedikit
rumit. Apakah lalu kita bisa melakukannya? Ada orang tua dan mertua yang harus dijaga
perasaannya. Dan hal lain yang belum bisa diduga.
Itulah mengapa kita disebut
manusia. Jika sudah muncul kesimpulan model begini, diskusi tidak bisa
dilanjutkan wqwqwq.
6.
Beberapa tahun lagi, aku akan
malu telah menulis begini. Karena aku sudah pindah di tahap pertama yang lain, bukan
naik kelas ke tahap yang ke dua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar