Saya bertemu buku ini dalam sebuah acara pameran
buku yang diselenggarakan di Gedung Wanita Semarang. Saat itu, Kiat Sukses
Hancur Lebur terpampang jelas di rak buku sebuah stand yang berada tepat di depan pintu masuk gedung ini. Saya
terkejut saat membaca judulnya, untuk menjadi hancur lebur pun ada kiat-kiatnya,
itulah pikiran saya waktu itu.
Lantas saya berjalan mengelilingi stand-stand buku yang ada, saya membeli
dua buku terbitan baNana yang lain—penerbit yang sama dengan Kiat Sukses Hancur Lebur,
Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi dan The Catcher in the Rye. Kiat Sukses Hancur Lebur saya
“tinggalkan” begitu saja.
Beberapa bulan setelah itu, seorang teman mengajak
saya untuk menghadiri acara Bincang Buku bersama penulisnya di malam tahun
baru, Kiat Sukses Hancur Lebur, Martin Suryajaya.
Pembuka novel ini adalah sebuah paragraf yang dibuat
melantur, seperti orang mabuk ciu literan yang dioplos sesuka hati:
KITA sudah
terlalu sering cebok. Terlalu banyak cebok itu tidak baik, bisa meningkatkan
risiko kanker dan buta huruf. Kanker paling berbahaya yang disebabkan oleh
keseringan cebok adalah kanker menjangan, yaitu suatu jenis kanker yang marak
diidap orang-orang kaya yang rajin keseleo dan masih pada tahap belajar bunuh
diri, masih jauh dari piawai. Kanker ini ditimbulkan oleh lenyapnya kotoran
dari tubuh kita. Kotoran dibutuhkan oleh tubuh kita supaya segala sesuatu
berjalan dengan lancar. Terlalu banyak cebok merupakan pangkal persoalan keresahan
masyarakat. Selain itu, dengan melakukan pergerakan cebok di tempat, dada kita
bisa sakit dan mata kita perih. Hal itu memang wajar. Semua hal yang dilakukan
tanpa persiapan tentulah membawa sengsara. Ini serupa dengan novel-novel kodian
yang digemari kawula muda ibu kota dan Papua. Fenomena buta huruf yang melanda
sebagian babi hutan di Jakarta dan beberapa buaya karet di toko mainan di Jalan
M.T. Haryono, Semarang, juga disebabkan oleh kebiasaan yang sama.
Novel apa ini! Kumpulan tulisan nggak jelas,
dijadikan satu, kemudian dilabeli “novel” sesuka hati. Itulah yang mungkin akan
menjadi tanggapan saya setelah membaca buku ini jika saya tidak mengikuti acara
bincang buku bersama penulisnya langsung sebelum membaca bukunya, setidaknya
memang itulah yang benar-benar menjadi pertanyaan saya selepas membaca. Novel,
sebagaimana mestinya, mempunyai unsur-unsur di dalamnya, tokoh, alur, latar,
masalah, penyelesaian, lalu kesimpulan. Namun novel ini, hampir tidak
menggunakan itu semua. Dialog percakapannya pun hanya sedikit sekali. Bahkan Anda
akan menemui berbagai macam tabel, gambar, dan rumus matematika yang umumnya
disajikan pada buku non-fiksi.
Seperti tabel pada halaman 131, dalam bab Resep
Sukses Tes Calon Pegawai Negeri Sipil. Ya, dalam buku ini dibahas kiat-kiat
sukses menjadi PNS. Kata sang penulis, “Menjadi PNS adalah solusi paling ideal
untuk menyelesaikan masalah hidup”. Sindiran penulis terhadap anggapan umum
tentang kelarnya perkara hidup setelah menjadi PNS patut disembah, eh tidak
boleh nyembah selain Allah, ya? Patut dibanggakan. Misal pada halaman 104
berikut:
Kapankah saat
yang tepat untuk membanting setir dan menabrak garasi? Dalam perkara karier,
anda semestinya tidak perlu ganti busi. Cukup ajukan surat pengunduran diri
pada diri Anda sendiri dan berhenti masuk kantor. Siapkan batin anda untuk
menjadi PNS idaman nusa dan bangsa. Segera layangkan surat lamaran dan isilah
formulir pendaftaran di kantor pos terpilih di kota Anda, atau mendaftarlah
secara kontemporer dengan menggunakan jasa wesel. Coba, Pak, bayangkan: Anda
meniti karier di atas seutas rambut dibelah tujuh, yang terentang di atas
jurang pengabdian dan patriotisme, diiringi lagu Poco-poco dan tetabuhan
ondel-ondel, sementara nun di ujung jauh sana sudah tersedia rumah dinas, mobil
dinas, istri dinas, anak dinas, simpanan dinas dan berbagai insentif kedinasan
lainnya. Tunggu apa lagi? Segera lakukan isi ulang pulsa otak Bapak-Ibu
sekalian.
Pertama, pada kalimat Cukup ajukan surat pengunduran diri pada diri Anda sendiri dan berhenti
masuk kantor. Bukankah yang masuk kantor itu profesi PNS pada umumnya?
Kedua, pada kalimat Anda meniti karier di
atas seutas rambut dibelah tujuh, yang terentang di atas jurang pengabdian dan
patriotisme, diiringi lagu Poco-poco dan tetabuhan ondel-ondel... Martin
seolah-olah menempatkan profesi bukan PNS menjadi profesi sudah PNS.
Orang-orang kantor, patriotisme, dan sering disuruh memutar lagu-lagu nasional
dan daerah di tempatnya bekerja, disuruh mengundurkan diri dan melamar menjadi
PNS. Sesungguhnya yang PNS itu siapa? Martin
benar-benar membuat saya kagum.
Di halaman 79, pada bab Pemrogaman Komputer
Menggunakan Sepuluh Jari, muncul sebuah gambar sayuran. Kata Martin, “Ada empat
macam komputer yang digunakan manusia setengah kancil di Surga ‘Adn, kontrakan
ideal yang murah sewanya. Salah satunya komputer sayur ini.”
Komputer sayur
biasanya dipakai oleh para manula dalam menghitung tulang rusuk kuda lumping.
Selain itu, para penggemar sepak bola biasanya menggunakan komputer jenis ini
untuk memprediksi hasil pertandingan dengan pur ¾.
Kemudian di halaman 77-78, point keempat pada
penjelasan Apa itu Komputer dan Jenis-jenis Kelaminnya.
Komputer adalah
sejenis muntaber yang mengandung kisruh elektromagnetik tinggal-landas dan
menyuarakan IF THEN ELSE pada mangkuk-mangkuk yang mengandung pegas dengan
rumus
dan beberapa puisi lainnya.
Lalu di halaman 181-182, pada sub bab Teknik-teknik Bunuh diri
di Apartemen. Rumus untuk menghitung jumlah penghuni apartement yang bunuh diri
dalam keadaan mual:
Rumus untuk menjamin agar tindakan bunuh diri yang
kita lakukan memang betul-betul berangkat dari kehendak bebas kita sendiri:
Rumus untuk mengukur kualitas hidup di apartement:
Semua ini, kata penulisnya pada acara Bincang Buku
itu, “Untuk menciptakan sebuah cerita tanpa harus menggunakan aturan-aturan
yang sudah ada. Pada novel ini, saya ingin membangun sebuah cerita tanpa tangga
dramatika sebuah cerita, seperti alur, tempat, masalah, penyelesaian dan
kesimpulan”.
Martin berhasil melakukan itu, tidak lagi
menggunakan pakem-pakem yang ada untuk menulis sebuah cerita. Namun saya tidak begitu paham apa isi buku ini
karena pengalaman membaca saya yang buruk, mungkin orang-orang yang telah
memiliki pengalaman membaca mumpuni yang akan memahami betul buku ini.
Mengingat begitu banyak daftar pustaka yang dicantumkan. Iya, novel ini ada
daftar pustakanya, dan lucu-lucu.
Jika disuruh menjelaskan apa yang saya peroleh
setelah membaca novel ini, entahlah saya akan memberi penjelasan seperti apa.
Alih-alih saya menjelaskan, saya akan menyuruh untuk membaca novel bajinguk ini sendiri, dan menikmati
ketololan diri sendiri setelah membacanya. Ini novel yang benar-benar lucu.
Banyak pendapat-pendapat umum yang didobrak di dalamnya.
Itulah tanggapan dari saya yang membaca buku ini
setelah mengikuti acara Bincang Bukunya bersama sang penulis. Sebagai penutup,
saya hadiahkan sebuah narasi pada bab Arahan Seputar Budi Daya Lele:
Pecel lele,
perlu Anda sadari, bukanlah pecel sama sekali. Tidak ada sambal kacang, tidak
ada bayam, tidak ada tauge, tidak ada peyek kacang, tidak ada kerupuk gendar,
tidak ada Tuhan, tidak ada apa pun yang biasanya diidentikkan dengan pecel.
Yang ada cuma sebongkah lele goreng, sambal dan potongan tumbuh-tumbuhan.
Biarpun desainnya sungguh minimalis, pecel lele sangat digemari orang-orang
pikun. Mereka seperti selalu lupa mematikan kompor, pergi membeli sebungkus pecel
lele, marah-marah ke tukang parkir dan pulang mendapati rumahnya kebakaran.
Selalu begitu: beli pecel lele, rumah kebakaran, beli pecel lele, rumah
kebakaran, beli pecel lele, rumah kebakaran. Orang-orang jenis inilah yang
biasanya menggemari musikalisasi puisi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar