Bila
malam datang, ia akan bersungut-sungut membersihkan tempat tidur, agar nyaman
tidurnya. Lalu menyeduh susu dan meletakkannya di meja sebelah. Setelah kau tak
dirumah, hal itu selalu ia lakukan.
Ia
selalu melakukan apa pun yang kau minta. “Tempat tidur yang bersih dan nyaman,
adalah bekal hubungan suami-istri harmonis,” katamu suatu ketika.
Sebagai
istri yang baik, ia tak ingin mengecewakan suaminya, ia tetap bersikap normal,
layaknya istri-istri pada umumnya. Maka, saat kau tak di rumah, ia masih
mengajar di sekolah seperti biasa, senin sampai sabtu. Berangkat pagi, pulang
sore. Sedangkan hari minggunya, ia
bersama bibi, pergi ke pasar, membeli kebutuhan yang sudah habis, dan membeli
sayur untuk dimasak hari itu juga.
Minggu
sore, sering ia habiskan membaca buku di beranda rumah sembari menunggumu,
duduk di kursi goyang yang dulu ia beli bersamamu. Setelah sore benar-benar
pergi, baru ia akan masuk, untuk menyiapkan tempat tidur kembali. Entah untuk
dirinya saja, untuk dirinya dan dirimu, atau untuk dirinya dan orang lain. Kau
tak tahu, bukan?
Sebenarnya, mudah bagi istrimu untuk bersuami lagi, banyak sekali lelaki yang telah melamarnya. Mulai dari kepala sekolah yang istrinya sudah meninggal. Peternak sapi, tetanggamu, yang sudah mempunyai istri tiga dan memang gemar beristri. Dan yang terakhir, ia dilamar oleh pemuda gagah rupawan, usianya dua puluh lima tahun, lima tahun lebih muda dari istrimu. Tetapi mereka ditolak, sederhana saja alasan istrimu, setia adalah pekerjaan yang baik. Ya, setia adalah pekerjaan yang baik, begitu kata penyair dari Makasar yang digemari istrimu.
Ia
ingin melakukan pekerjaan baik ini dengan baik, sebaik-baiknya. Hingga harinya
tiba, saat kau kembali, ia resmi menyandang gelar sebagai istri yang baik. Maka,
ia tetap sendiri dan menunggumu.
Sekarang,
‘pulang’, menjadi kata yang selalu ada di pikirannya. Kepulanganmu. Dalam
hatinya juga sering bertanya, apa yang salah dengan diriku, mana bisa aku
mengalahkan beban berat seperti ini? Ah, manusia memang sering memutuskan
sendiri tentang berat-ringannya cobaan yang Tuhan beri, tanpa berpikir lebih
jauh untuk melihat dirinya akan lebih kuat setelah cobaan itu terlewati.
Suatu
ketika, mertuamu bertandang ke rumah, menengok anak perempuannya. Hati seorang
ibu memang tidak pernah salah, senang atau sedih hati anaknya, mereka pasti
bisa merasakan. “Kau terlihat lebih kurus?” sapa mertuamu.
“Iya,
Bu, kemarin aku demam,” jawab istrimu, singkat.
Mertuamu
tahu, hati anaknya sedang pilu, maka ia datang menjenguk, sekadar menemani agar
tak kesepian. “Kau masih muda, masih cantik, bahkan belum mempunyai anak. Kau
tidak mau menikah lagi?”
Lengang
sejenak. Istrimu segera memikirkan jawaban yang tepat untuk pertanyaan itu.
“Aku sedang melakukan pekerjaan baik, Bu. Jangan menyuruhku untuk berhenti.”
Ya,
pekerjaan baik seperti yang dikatakan penyair Makasar itu. Tetapi, ada satu
yang kurang, penyair itu tidak menyebutkan batasan waktu kapan seseorang bisa
disebut telah melakukan pekerjaan baik itu. Lima tahun, sepuluh tahun, dua
puluh, atau bahkan selamanya?
“Pekerjaan
apa? Pekerjaan menunggu? Pekerjaan yang hanya diam bersedih?” lanjut mertuamu.
Istrimu
sedikit pun tak merasa marah atau kesal, sebaliknya, ia menunjukkan ketenangan seorang
perempuan juara. “Setia. Aku akan setia kepada suamiku, aku akan melakukannya
dengan baik, Bu.”
“Jika
kau menikah lagi, itu tidak salah, itu hakmu, kau pantas mendapatkannya.”
“Tidak,
Bu. Aku akan menyelesaikan pekerjaan baik ini,” tandas istrimu.
Dengan
bingung yang berjejeran, mertuamu memilih diam. Dilihatnya wajah anak
perempuannya sekali lagi. Wajahnya boleh berkata bahagia, tetapi hatinya pasti
sakit. Mertuamu tahu itu.
***
Hari terus berganti. Ia tetap
menunggumu, dan kau tak punya hati, kau tak pulang-pulang. Sudah berapa buku yang
telah ia baca di beranda rumah. Sudah berapa gelas susu yang ia buat untukmu
setiap malam seusai membersihkan tempat tidur. Sudah berapa kali ia merasa
bersedih. Semua tak terhitung lagi.
Bibi, yang tahu persis keadaan
istrimu saat itu, juga ikut bersedih. Setiap malam datang, istrimu akan duduk
di tempat tidur dan memandangi segelas susu di meja sebelah dengan tatapan
nanar. Saat itulah, bibi akan mengelus dada dan menghembuskan nafas panjang
tanpa berani berkata atau bertanya apa pun.
Istrimu ingin kembali dan
menghidupkan momen masa lalu bersamamu. Bukankah hal itu juga disebut kelainan.
Nostomania, iya, namanya nostomania. Kondisi psikologis yang
menggambarkan seseorang dengan keinginan abnormal untuk kembali dan
menghidupkan peristiwa di masa lalu. Jadi, istrimu tidak sepenuhnya normal, ia
mengidap kelainan, walaupun tidak banyak orang yang mengetahuinya, kecuali
bibi.
Itulah yang membuat bibi ikut
bersedih. Terkadang, ia tidak hanya melihat istrimu duduk dan memandangi susu.
Tetapi ia berbicara, entah kepada siapa, kepada bayanganmu mungkin. Atau kepada
susu itu. Bibi tak tahu.
“Kau apa kabar? Kapan pulang? Aku
selalu membersihkan tempat tidur setiap malam datang, dan membuat segelas susu
untukmu,” ucap istrimu.
Di pagi harinya, istrimu sering meminum
susu yang telah ia buat semalam, susu yang sebetulnya untukmu. “Nanti malam,
akan kubuatkan lagi yang lebih hangat,” bisiknya setelah menyesap habis susu
itu.
Lalu ia beranjak dari tempat tidur,
membuka jendela dan memandang sebentar ke luar, ke jalan yang dulu sering
kalian lewati. Tepat di ujung jalan itu, bus malam sialan, tanpa aba-aba,
menabrakmu. Itulah yang masih menjadi pertanyaan istrimu, mengapa hanya kau
yang tertabrak, mengapa tidak ia sekalian, padahal kalian sedang berjalan
berdampingan. “Seandaninya aku tahu sopir bus itu sedang mabuk, aku tak akan
mengajakmu membeli nasi goreng malam itu,” bisiknya lagi sesudah selesai menyapu matanya.
Sekarang, kau tahu yang dilakukan
istrimu setelah kau tak di rumah? Ia masih melakukan perintahmu. Ia ingin
melakukan pekerjaan dan menjadi istri yang baik. Ia akan melakukan itu
selamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar