21.6.15

Belajar Menulis Cerita Pendek


“Untuk tugas pertama kalian, buatlah sebuah cerpen. Tema dan jumlah halamannya bebas, tidak ada ketentuan khusus. Tulislah apa pun yang ingin kalian tulis, lalu kumpulkan besok jam sembilan pagi.” Ujar Pak Toni, pengajar kelas menulis.

Para peserta kelas menulis menunjukkan raut muka antusias, sangat antusias. Mereka rata-rata para pemula yang sedang semangat-semangatnya untuk belajar menulis. Dan Andi, ini kelas menulis pertama yang ia ikuti. Tidak bisa digambarkan dengan pasti bagaimana perasaannya tentang berbagai macam teknik menulis yang ia peroleh hari itu. Yang jelas, ia senang bukan kepalang.

“Sekarang waktunya kalian pulang, kelas telah usai. Kerjakan tugas itu dengan baik, karena akan dibahas bersama esok hari. Terimaksih, selamat sore.” Lanjut Pak Toni.


Andi sampai rumah pukul sebelas malam, ia mampir di salah satu bioskop untuk menonton film. Kata pengajarnya, inspirasi menulis bisa datang dari mana pun, termasuk dari menonton film. Maka ia lakukanlah cara itu.

Ia sudah duduk sempurna di depan laptop, mulai memikirkan tentang tema apa yang akan ditulis. Lalu ia teringat tentang cerita film tadi, sepasang suami istri yang bahagia, memiliki satu anak laki-laki yang gemar bermain basket. Kedua orang tuanya sangat mendukung hobinya itu, dan memasukkannya ke dalam sekolah basket. Ah, aku hendak menulis tentang keluarga, batin Andi girang.

Dipencetlah tombol-tombol huruf di laptopnya. Paragraf pertama berjalan mulus tanpa hambatan. Paragraf  kedua selesai, sempat berhenti beberapa menit, tapi akhirnya selesai juga. Masuk paragraf tiga, ia mulai kebingungan. Ia bingung bagaimana memasukkan karakternya. Ia bingung cara membuat latarnya. Diam lama, sepuluh menit, lima belas menit, belum satu huruf pun tertulis di paragraf itu.

Dua puluh menit berlalu, ia mulai menulis. Tapi sebentar lagi, ia hapus. Tulis lagi, dirasa kurang pas, ia hapus lagi. Begitu sampai akhirnya ia memutuskan mengganti tema.

Ia ingat beberapa hari lalu, Ratna, gadis pujaan hati, menolaknya dengan alasan ia belum diijinkan pacaran oleh orang tuanya. Aku ingin menulis cerita tentang cinta yang bertepuk sebelah tangan, batin Andi lagi.

Paragraf pertama lancar seperti paragraf pertama tema sebelumnya. Ia mulai tersenyum membayangkan adegan tambahan yang akan ia tulis. Ia ingin menambahkan sebuah dialog setelah Ratna menolaknya. Kurang lebih begini bunyinya: “Apa pula orang tuamu, jatuh cinta harus minta ijin. Persetan!” Ia pikir, dengan begitu, akan menambah rasa drama dalam tulisannya.

Masuk di paragraf ke tujuh, ia bingung bagaimana membuat tulisannya mampu menyampaikan apa yang ia rasa. Setelah hapus sana-sini, ia tak kunjung menemukan kalimat yang pas. Semua dirasa kurang.

Ia mulai berpikir untuk tema yang lain. Kali ini ia ingin menulis tentang liburan. Baru memikirkan tentang liburan macam apa yang akan ditulis, Ia sudah pusing bukan main lantaran ia jarang sekali berlibur. Ah susah sekali menulis, semangat saja tidak cukup, gerutunya dalam hati.

Tak terasa sudah pukul satu pagi, belum ada satu tema pun yang pas untuk ditulis. Ia merenung, berpikir, kemudian membuka catatannya tadi siang. Tak membantu juga. Ia kembali merenung, mengambil kertas dan bolpoin, lalu corat-coret tidak jelas. Tepat pukul dua pagi, ia tertidur. Bangun-bangun sudah jam delapan. Ia bergegas menyadarkan diri, takut terlambat dan belum mengerjakan tugas menulisnya.

Andi membuka kembali laptopnya yang belum dimatikan, mulai berpikir lagi tentang apa yang akan ditulis. Cinta, persahabatan, panjahat, horor, masa sekolah, semua bergantian lewat di pikirannya. Ia tetap belum menuliskan apa-apa. Ia malah lebih memilih ke kamar mandi, malu dengan peserta lain jika ia terlihat kucel dan bau. Kemudian ia guyurkan air ke tubuhnya. Lalu menggosok-gosokkan sabun ke seluruh badannya.

Saat mandi itulah, Andi ingat perkataan salah seorang guru di sekolahnya; “Jika kalian tidak bisa akan suatu hal, jangan memaksakannya untuk bisa. Katakan saja tidak bisa atau belum bisa, hasilnya akan lebih indah,” begitu katanya. Setelah itu, Andi keluar kamar mandi, ia telah mendapatkan ide melalui nasihat gurunya itu.

Ia ambil pakaian dari dalam lemari, ia kenakan, lalu ia semprotkan pewangi di bagian ketiaknya. Baru ia menuliskan dengan sangat gembira ide yang tadi muncul, lantas mencetaknya.

Pukul sembilan tiga puluh pagi, Andi baru sampai di tempat kelas menulis. Ia lihat Pak Toni sedang membahas cerita peserta lain. Ia lantas duduk dan mendengarkan. Ceritanya bagus sekali, berkisah tentang masa lalu, balik ke masa sekarang, balik lagi ke masa lalu. Dan diakhiri dengan dialog yang sangat tidak terduga. Andi terkagum-kagum dibuatnya. Riuh tepuk tangan dari peserta lain terdengar menggairahkan.

Pak Toni berujar, “Nampaknya, kalian sudah pandai menulis cerita.”

Kemudian Pak Toni lanjut membaca cerita dari peserta lain. Sepuluh cerita telah ia baca, sampai titik ini, ia menyimpulkan bahwa para peserta sudah bisa menulis cerita dengan gaya mereka masing-masing. Tapi sayang, ia belum sampai membaca cerita Andi. Ceritanya hanya satu halaman, berikut isinya:


Namaku Andi, umur delapan belas.                                                                    
Sedang belajar menulis cerita…


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkumpulah, berkumpulah

Hari itu, hari setelah penantian panjang bertahun-tahun untuk memiliki anak, turun perintah langit untuk Ib. Ia disuruh membawa istri dan a...