“Untuk
tugas pertama kalian, buatlah sebuah cerpen. Tema dan jumlah halamannya bebas,
tidak ada ketentuan khusus. Tulislah apa pun yang ingin kalian tulis, lalu
kumpulkan besok jam sembilan pagi.” Ujar Pak Toni, pengajar kelas menulis.
Para
peserta kelas menulis menunjukkan raut muka antusias, sangat antusias. Mereka
rata-rata para pemula yang sedang semangat-semangatnya untuk belajar menulis.
Dan Andi, ini kelas menulis pertama yang ia ikuti. Tidak bisa digambarkan
dengan pasti bagaimana perasaannya tentang berbagai macam teknik menulis yang
ia peroleh hari itu. Yang jelas, ia senang bukan kepalang.
“Sekarang
waktunya kalian pulang, kelas telah usai. Kerjakan tugas itu dengan baik,
karena akan dibahas bersama esok hari. Terimaksih, selamat sore.” Lanjut Pak
Toni.
Andi
sampai rumah pukul sebelas malam, ia mampir di salah satu bioskop untuk
menonton film. Kata pengajarnya, inspirasi menulis bisa datang dari mana pun,
termasuk dari menonton film. Maka ia lakukanlah cara itu.
Ia
sudah duduk sempurna di depan laptop, mulai memikirkan tentang tema apa yang
akan ditulis. Lalu ia teringat tentang cerita film tadi, sepasang suami istri
yang bahagia, memiliki satu anak laki-laki yang gemar bermain basket. Kedua
orang tuanya sangat mendukung hobinya itu, dan memasukkannya ke dalam sekolah
basket. Ah, aku hendak menulis tentang keluarga, batin Andi girang.
Dipencetlah
tombol-tombol huruf di laptopnya. Paragraf pertama berjalan mulus tanpa
hambatan. Paragraf kedua selesai, sempat
berhenti beberapa menit, tapi akhirnya selesai juga. Masuk paragraf tiga, ia
mulai kebingungan. Ia bingung bagaimana memasukkan karakternya. Ia bingung cara
membuat latarnya. Diam lama, sepuluh menit, lima belas menit, belum satu huruf
pun tertulis di paragraf itu.
Dua
puluh menit berlalu, ia mulai menulis. Tapi sebentar lagi, ia hapus. Tulis
lagi, dirasa kurang pas, ia hapus lagi. Begitu sampai akhirnya ia memutuskan
mengganti tema.
Ia
ingat beberapa hari lalu, Ratna, gadis pujaan hati, menolaknya dengan alasan ia
belum diijinkan pacaran oleh orang tuanya. Aku ingin menulis cerita tentang
cinta yang bertepuk sebelah tangan, batin Andi lagi.
Paragraf
pertama lancar seperti paragraf pertama tema sebelumnya. Ia mulai tersenyum
membayangkan adegan tambahan yang akan ia tulis. Ia ingin menambahkan sebuah
dialog setelah Ratna menolaknya. Kurang lebih begini bunyinya: “Apa pula orang
tuamu, jatuh cinta harus minta ijin. Persetan!” Ia pikir, dengan begitu, akan
menambah rasa drama dalam tulisannya.
Masuk
di paragraf ke tujuh, ia bingung bagaimana membuat tulisannya mampu
menyampaikan apa yang ia rasa. Setelah hapus sana-sini, ia tak kunjung
menemukan kalimat yang pas. Semua dirasa kurang.
Ia
mulai berpikir untuk tema yang lain. Kali ini ia ingin menulis tentang liburan.
Baru memikirkan tentang liburan macam apa yang akan ditulis, Ia sudah pusing
bukan main lantaran ia jarang sekali berlibur. Ah susah sekali menulis,
semangat saja tidak cukup, gerutunya dalam hati.
Tak
terasa sudah pukul satu pagi, belum ada satu tema pun yang pas untuk ditulis.
Ia merenung, berpikir, kemudian membuka catatannya tadi siang. Tak membantu
juga. Ia kembali merenung, mengambil kertas dan bolpoin, lalu corat-coret tidak
jelas. Tepat pukul dua pagi, ia tertidur. Bangun-bangun sudah jam delapan. Ia
bergegas menyadarkan diri, takut terlambat dan belum mengerjakan tugas
menulisnya.
Andi
membuka kembali laptopnya yang belum dimatikan, mulai berpikir lagi tentang apa
yang akan ditulis. Cinta, persahabatan, panjahat, horor, masa sekolah, semua
bergantian lewat di pikirannya. Ia tetap belum menuliskan apa-apa. Ia malah
lebih memilih ke kamar mandi, malu dengan peserta lain jika ia terlihat kucel
dan bau. Kemudian ia guyurkan air ke tubuhnya. Lalu menggosok-gosokkan sabun ke
seluruh badannya.
Saat
mandi itulah, Andi ingat perkataan salah seorang guru di sekolahnya; “Jika
kalian tidak bisa akan suatu hal, jangan memaksakannya untuk bisa. Katakan saja
tidak bisa atau belum bisa, hasilnya akan lebih indah,” begitu katanya. Setelah
itu, Andi keluar kamar mandi, ia telah mendapatkan ide melalui nasihat gurunya
itu.
Ia
ambil pakaian dari dalam lemari, ia kenakan, lalu ia semprotkan pewangi di
bagian ketiaknya. Baru ia menuliskan dengan sangat gembira ide yang tadi
muncul, lantas mencetaknya.
Pukul
sembilan tiga puluh pagi, Andi baru sampai di tempat kelas menulis. Ia lihat
Pak Toni sedang membahas cerita peserta lain. Ia lantas duduk dan mendengarkan.
Ceritanya bagus sekali, berkisah tentang masa lalu, balik ke masa sekarang, balik
lagi ke masa lalu. Dan diakhiri dengan dialog yang sangat tidak terduga. Andi
terkagum-kagum dibuatnya. Riuh tepuk tangan dari peserta lain terdengar
menggairahkan.
Pak
Toni berujar, “Nampaknya, kalian sudah pandai menulis cerita.”
Kemudian
Pak Toni lanjut membaca cerita dari peserta lain. Sepuluh cerita telah ia baca,
sampai titik ini, ia menyimpulkan bahwa para peserta sudah bisa menulis cerita
dengan gaya mereka masing-masing. Tapi sayang, ia belum sampai membaca cerita
Andi. Ceritanya hanya satu halaman, berikut isinya:
Namaku
Andi, umur delapan belas.
Sedang belajar menulis cerita…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar