6.7.15

Beberapa Bibir Perempuan yang Saya Ingin Cium Lama-lama dan Berulang Kali


Kemarin, seorang teman mengeluh kepada saya, ia ingin berhenti merokok tetapi tidak tahu harus memulai dari mana. Saya, yang bukan perokok dan bukan mantan perokok, kecuali sesekali di masa sekolah dulu, itu pun ketahuan seorang guru, bingung. Tidak ada kalimat-kalimat bijak yang keluar dari mulut saya, hanya sepotong kalimat, “Kabar yang dapat membuat saya bahagia, selain kesuksesan seorang teman, adalah, ketika dia bilang, saya sudah berhenti merokok.”

Lalu, saya menyarankan ia untuk mengurangi jumlah rokok setiap harinya. Ia setuju, ia ingin mencobanya. Dan hari ini ia bilang, “Saya mengurangi dua batang.” Saya senang mendengarnya.

Seandainya para politisi di negeri ini segampang teman saya ketika dinasihati, mungkin acara-acara politik tidak akan tayang lagi di televisi. Dan mungkin, berita tentang mahasiswa yang meninggal saat berdemo tidak akan kita dengar. Dan saya, saya tidak akan merasa terlalu dewasa ketika melihat negeri ini yang begitu kanak-kanak.


***

Mari beranjak dari kisah teman saya itu. Saya ada kisah dari Eka Kurniawan, salah satu penulis Indonesia yang saya idolakan. Penulis yang lahir di Pangandaran, kota kecil tepi pantai selatan. Siswa pertama dari SMA-nya yang masuk UGM, dan namanya selalu disebut oleh kepala sekolah ketika upaca bendera hari senin.

Dalam wawancara tidak resminya bersama Aan Mansyur (penulis yang juga saya idolakan), Eka mengatakan, “Saya lebih ingin membesarkan diri sebagai pembaca dari pada penulis.” Hei, bukankah semua dari kita memang harus begitu? Menulis sama dengan berbicara, dan membaca sama dengan mendengarkan. Jadi, sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh empunya hidup kepada nabi terakhir, membaca. (Jika ingin membaca keseluruhan wawancara tersebut, sila buka di sini)

Dalam waktu dekat ini, novel pertamanya, Cantik itu Luka, akan diterbitkan oleh New Directions dalam bahasa Inggris, dengan judul Beauty Is a Wound — setalah diterbitkan terlebih dahulu dalam bahasa Jepang dan Malaysia (kalian bisa membaca ulasannya di sini). Untuk novel yang satu ini, saya sudah membacanya, banyak tanggapan oleh para pembaca di internet, bahwa setelah membaca novel ini, mereka mengalami “orgasme” dalam membaca. Dan saya setuju dengan hal itu. Saya benar-benar “orgasme” setelah membaca novel ini.

Selain membaca hampir semua bukunya, kecuali tiga bukunya yang sudah tidak ada lagi di pasaran, saya juga rajin mengunjungi blog pribadinya. Salah satu blog yang saya kunjungi hampir setiap hari. Banyak sekali informasi yang saya peroleh dari sana, kabar buruknya, blog itu di-non-aktifkan beberapa minggu lalu. Kabar baiknya, tidak tahu kapan, blog itu aktif kembali.

Dalam salah satu postingan di blognya, ia pernah menjawab pertanyaan dari pengunjungnya, pertanyaannya begini: “Apakah kemampuan menulis saja tidak cukup utnuk menciptakan karya penting?” Lalu, dengan gaya bertutur khasnya, Eka menjelaskan sangat runut, ia mengatakan:  Jika yang kamu maksud itu kita harus menjadi “bahaya” dalam berkarya, dalam hal ini menulis, dan “bahaya” yang kamu maksud itu bermasalah dengan penguasa atau masyarakat, ya jelas tidak harus begitu.

Ia menjelaskan lagi (lebih mirip bertanya daripada penjelasan), tentang ketidakharusan menjadi “bahaya” untuk dikenal, tidak harus “bahaya” untuk menempatkan nama kita dalam catatan sejarah kesusastraan dalam negeri maupun dunia. Lebih jauh lagi ia menjelaskan tentang hal itu, dan lagi-lagi kalian bisa membacanya di sini.

Di akhir postingan, setelah menjelaskan secara panjang dan memikat, ia menutupnya dengan sebuah pertanyaan: Lagi pula ujungnya-ujungnya, apa sih tujuanmu menulis? Ingin mencatat atau dicatat? Saya berhenti bergerak beberapa saat.

Setiap kali saya berkunjung ke blognya, Eka selalu berhasil membuat saya untuk menabung, tepatnya, menyisihkan uang yang sebetulnya sudah tersisih untuk membeli buku-buku yang ia sebutkan. Dan saya selalu merasa sangat kecil sebagai pembaca jika dibandingkan dengannya.

Di samping karya-karyanya, saya juga menaruh hormat untuk sikapnya yang memilih me-non-aktifkan semua akun media sosialnya. Katanya, ia lebih ingin memfokuskan diri untuk membaca dan menulis dari pada bersosial di dunia yang tidak nyata. Ia memang penulis yang bebas, pantas The Jakarta Post menyebutnya An Unconventional Writer.

Setelah membaca tulisan ini, saya harap kalian mau pergi ke toko buku, dan menyisihkan beberapa rupiah untuk membeli salah satu buku dari Eka. Saya rasa, masih ada lima bukunya yang tersedia di toko buku.



Catatan:
Pertama – Saya minta ma'af karena menggunakan judul yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan isi tulisan. Hanya untuk menarik perhatian kalian agar mau membacanya sampai akhir.

Kedua – Perihal harapan teman saya yang ingin berhenti merokok, mari kita do’akan bersama-sama. Dan saya minta ma’af lagi, saya menulis ini sembari merokok. Terimakasih.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkumpulah, berkumpulah

Hari itu, hari setelah penantian panjang bertahun-tahun untuk memiliki anak, turun perintah langit untuk Ib. Ia disuruh membawa istri dan a...