26.1.15

Pemakaman Ewa


1.

Di luar hujan, deras sekali. Sepasang kekasih itu masih betah menunggunya reda, di dalam kafe yang tidak begitu ramai. Raut sedih terlihat dari wajah mereka. Sedih karena salah satu dari mereka, baru saja menerima hasil pemeriksaan darah. Anemia Aplastic, begitu yang tertulis di kertas hasil laporan. Itulah penyakit yang diderita.

“Aku belum pernah mendengar penyakit ini sebelumnya,” Ewa berucap, lirih.

“Tak apa, kita akan membunuhnya besok,” jawab Eri.

“Kalau aku yang terbunuh?”

Eri tersenyum, menunjukkan ketenangannya sebagai lelaki. “Penyakit itu pasti lebih kuat dari hummer tiang pancang.”

“Ah, lagi-lagi kau bawa sesuatu yang berbau teknik sipil. Jangan bawa pelajaran kuliahmu di sini.”

Dingin udara malam, senyum sejelek apa pun akan membuat suasana menjadi nyaman. Setidaknya bisa menghibur Ewa dari penyakitnya. Penyakit memang datang dengan semaunya, membawa apa saja, tetapi tidak termasuk kebahagiaan.


Ewa belum siap, jika ‘mati’ adalah jawaban ketika ada seseorang menanyakan keberadaannya. “Sebelum mati, aku ingin tidur di kosmu.”

“Kau tak akan mati.”

“Semua orang pasti mati.”

“Baiklah, kapan?”

“Malam ini.”

Di luar masih hujan, deras sekali. Sepasang kekasih itu telah habis kadar sabarnya untuk menunggunya reda. Pulang mengendarai mobil, hati-hati. Sebab hujan, bisa menyamarkan lubang menjadi genangan air biasa, sangat berbahaya.

Di dalam kamar, tanpa ada yang memerintah, mereka sudah sangat dekat, terlalu dekat untuk pasangan yang belum menikah. Tangan bertemu tangan, bibir bertemu bibir, dan pakaian lepas juga bertemu dengan pakaian lepas di lantai. Itu kali pertama mereka melakukannya. Seperti yang aku bilang tadi, penyakit membawa semuanya kecuali kebahagian. Kali ini, ia datang bersama setan.

Di luar masih hujan, rintik-rintik.


2.

“Jangan beri tahu abangku tentang penyakit ini,” kalimat pertama yang terucap dari mulut Ewa.

“Dia teman baikku, aku harus memberi tahunya, untuk kebaikanmu juga.”

“Paling tidak jangan sekarang, aku belum siap.”

“Saat kau siap, mungkin itu sudah terlambat.”

“Itu lebih baik.”

Suasana sedikit tegang, tetapi ketenangan dokter mengalahkan segalanya. Apalagi, Ewa adalah mantan kekasih Bili. Saat masih kuliah dan berteman dengan abangnya, Bili sering main ke rumah. Saat itu Ewa masih SMA, tetapi kecantikannya sudah sangat jelas terlihat. Pertemuan yang cukup sering, membuat cinta perlahan tumbuh. Keduanya akhirnya berpacaran, sebelum akhirnya putus karena kesibukan masing-masing. Ewa terlalu sibuk dengan kuliah perdananya, sedangkan Bili sibuk dengan skripsinya.

“Tetapi penyakitmu ini terlalu berbahaya, pengobatannya tidak mudah.”

“Aku ingin tahu penyebab penyakit ini dulu.”

“Kau pasti tidak membaca seluruh isi laporan itu. Tapi baiklah, akan kujelaskan. Penyakit ini bisa disebabkan karena pengaruh bahan kimia beracun, zat-zat peptisida dan insektisida. Bisa juga melalui obat-obatan, seperti antibiotic. Kalau mau penjelasan yang panjang, baca saja laporannya.”

“Lalu?”

“Lalu? Maksutnya?”

“Pengobatanya.”

“Paling mudah dari pilihan yang ada dan dengan biaya yang terjangkau, kau bisa menjalani terapi suportif.”

“Hmm, baiklah.”

Ruangan kembali hening, seperti sebelum kedatangan Ewa. Bili hanya memandang gadis itu dengan tatapan mengenang masa lalu. Dia masih cantik, masih seperti dulu walaupun ada penyakit langka yang mematikan di tubuhnya.

“Kembalilah besok untuk memulai terapi,” akhirnya Bili bicara.

***

Bili dan Ewa mulai sering bertemu dalam acara terapi. Sebagai mantan kekasih, tentu bohong jika sudah tidak memiliki rasa sama sekali. Mulanya mereka malu-malu, tapi lama-kelamaan jadi terbiasa.

“Kau sudah punya pacar,” Bili bertanya, pelan.

“Sudah.”

Rona wajah Bili seketika berubah, kecewa.

“Kau kenapa? Masih mencintaiku?” Ewa bertanya. “Tenang, sebagai mantan kekasih, tentu aku tidak bisa melepas semua rasa itu.”

“Iya, aku masih mencintaimu.”

Tangan Bili menyentuh lembut kepala Ewa, lalu bibirnya mendarat tepat di ubun-ubunnya. Cinta lama menjadi cinta baru. Ewa membalasnya, membalas dengan tersenyum, itu berarti ia tidak menolaknya.

Bili bereaksi, melepas pegangannya menuju pintu. Lalu memutar kunci ke arah kiri, bunyi ‘klek’ satu kali sudah memastikan pintu itu terkunci.  Ewa sudah siap di atas kasur pasien. Mereka melakukannya, titik-titik keringat mulai menetes dari dahi Bili. Ah, penyakit lagi-lagi membawa petaka.


3.

‘Mati’ benar-benar menjadi jawaban untuk pertanyaan tentang keberadaan Ewa. Penyakit itu terlambat diketahui, sum-sum tulang tubuhnya telah lama berhenti memproduksi sel-sel darah baru yang cukup.

Ini hari pemakamannya, banyak sekali orang yang datang, tak terkecuali Eri dan Bili. Eri tentu tahu kalau Bili adalah dokternya Ewa belaka, tapi ia tak tahu jika mereka adalah mantan kekasih.

“Dokter Bili, terimaksih selama ini sudah bersedia mengobati Ewa,” ucapan sopan dari seorang lelaki yang tidak tahu kalau dokter itu telah tidur dengan pacarnya. “Sekali lagi terimakasih.”

“Ewa pernah bercerita, kalau dia sangat menyayangimu,” tentu Bili berbohong belaka. “Kalian pasangan yang cocok.”

Lubang mayat telah tertimbun tanah sempurna, saatnya menaburi bunga-bunga diatasnya. Banyak sekali jenis bunga yang dibawa, termasuk mawar.

“Semoga Ewa tenang di sana, aamiin,” ucap Eri.

“Ewa adalah gadis yang setia, Er, ia pasti tenang disana,” ucap Bili.

Lagi-lagi, penyakit tidak pernah membawa kebahagiaan. Kali ini, ia membawa kejahatan, Bili pelakunya, ia berbohong.

Selesai.


Tantangan @KampusFiksi, dalam episode #KataSebuahNapas.


1 komentar:

Berkumpulah, berkumpulah

Hari itu, hari setelah penantian panjang bertahun-tahun untuk memiliki anak, turun perintah langit untuk Ib. Ia disuruh membawa istri dan a...