Pada umur sepuluh tahun,
aku sering dihina oleh teman-teman kalau aku anak setan. Dan pada siapa saja
yang menghina seperti itu, aku tak segan melayangkan hantaman tangan keras ke
kepalanya. Pernah suatu saat, ketika Ari, teman sebayaku, mengatakannya, tujuh
pukulan mendarat tepat di kepala bagian belakangnya. Beruntung ada teman-teman
lain yang bersedia meleraiku, kalau tidak, aku tak tahu akan seperti apa bentuk
kepalanya.
Ada lagi kejadian serupa
saat umurku sepuluh tahun, ketika Anto, lima tahun lebih tua dariku, mengatakan
hal yang sama dengan Ari. Aku tak berani berhadapan langsung dengannya. Jadi,
kuputuskan untuk menimpuknya dari jauh menggunakan ketapel. Dengan bersembunyi
di balik semak, sudah kusiapkan batu-batu seukuran biji durian untuk menimpuk
kepalanya. PRAAKK! Kulit kepalanya sobek. Darah langsung bercucuran deras
membanjiri tubuhnya. Aku kegirangan.
Aku masih saja
terheran-heran, kenapa mereka tidak tahu kalau aku adalah anak sah dari
bapakku. Bapak yang meninggal lima hari setelah aku berumur empat puluh hari dalam
kandungan ibu. Bisa saja dalam empat puluh lima hari sebelum bapak meninggal,
telah ia pindahkan aku dari batangnya ke dalam lubang ibu. Karena masa iddah
seorang perempuan yang di tinggal mati suaminya adalah empat puluh hari.
Yang lebih mengherankan
adalah, orang tua mereka. Mereka yang memberi tahu kepada anak-anaknya kalau
aku anak haram tanpa ayah, dengan kata lain; ibuku dihamili orang. Padahal
ibu-ibu itu rajin mengaji setiap minggunya di pengajian rutin, tetapi apa yang
mereka pelajari tidak diterapkan dalam kehidupan. Masih suka menggunjing.
***
Karena dijauhi oleh
teman-teman (aku malas menyebut mereka teman), aku sering menjadikan benda mati
sebagai teman, dan mereka sering aku ajak bicara. Faforitku adalah batu hitam
bulat yang kuambil dari kuburan—yang kata orang-orang, kuburan itu angker. Batu itu, satu-satunya
benda yang mau menjawab pertanyaanku, itulah keistimewanya.
“Kira-kira, kenapa mereka
membeci aku dan ibu?” tanyaku suatu ketika tanpa mengira batu itu akan menjawab.
“Karena mereka iri pada
harta peninggalan ayahmu.” Jawab batu itu. Aku terkaget-kaget saat
mendengarnya, lalu kujatuhkan batu itu begitu saja ke lantai. Kemudian aku
keluar kamar, hendak mengatakan kejadian itu pada ibu, tapi kuurungkan.
***
Pagi itu, Pak Tono, teman
ibu waktu SD, datang ke rumah. Mengabarkan kalau tindakan ibu membeli mobil
sudah menjadi perbincangan hangat semua warga. Mereka mengira kalau ibu main
mata dengan lelaki kaya dari kota, lalu ibu dihadiahi uang banyak. Pak Tono ini
satu-satunya orang yang memiliki pikiran waras di desaku, sehingga ia mau
berkerabat dengan ibu. Mungkin juga karena dulu, ia dirawat oleh kakekku sampai
dewasa, karena kedua orang tuanya sudah meninggal.
“Suruh mereka kemari dan
mengatakannya langsung padaku.” Hardik ibu tinggi.
“Mereka tidak pernah
berani ngomong langsung pada kamu, mereka orang-orang penggosip, mereka iri
pada hartamu.” Jawab Pak Tono singkat.
Padahal mobil itu adalah
alat utnuk menyenangkanku, agar aku tidak merasa kesepian. Agar ibu juga bisa
merasakan kesenangan dan mewujudkan impian almarhum suaminya, membeli mobil. Harusnya aku ingatkan ini pada mereka, terhadap
orang yang tidak mau memahami orang lain. Agar mereka bisa menghormati
kebahagiaan orang lain. Setiap orang tidak boleh hanya memikirkan
kebahagiaannya sendiri. 1)
“Sudahlah,
biarkan saja, tak usah kau layani orang-orang tak berpendidikan itu. Malu sama
gelar sarjanamu.” Bujuk Pak Tono pada ibu.
***
Kepada
keluargaku, mereka berani berkata apa saja, tak peduli itu benar atau salah.
Sehingga pada satu titik akhir kesimpulan, benar apa kata Pak Tono; mereka iri
pada harta ibu, khususnya pada harta peninggalan ayah. Karena harta ayah bukan
harta ayah seutuhnya—itu semua harta peninggalan kakek. Dan semua orang yang
membeci ibu dan aku adalah anak atau cucu-cucu dari adik kakek. Mereka
menginginkan harta itu dari kami dengan alasan masih ada hubungan darah dengan
kakek.
Sedangkan
kepada keluarga lain, keluarga Pak Joni contonhnya. Sudah terang-terang dan banyak
orang tahu kalau Pak Joni sering menipu orang dengan menjanjikan menjadi PNS
(Pegawai Negeri Sipil) pada siapa saja yang mau membayarnya. Tetapi
kenyataanya, janji itu hanya sebatas janji, karena Pak Joni tidak pernah
membuat seseorang menjadi PNS, ia hanya mengambil uangnya. Ia perampaok. Dan
pada orang seperti itu, mereka tak berani berbuat apa-apa, atau mungkin mereka
tak mau. Aku tahu bedanya tak berani dan tak mau, keduanya sama-sama tak
dilakukan memang, tetapi dengan alasan yang jauh berbeda.
Aku
pernah menanyakan hal itu pada batu hitamku, seperti sebelumnya, ia menjawab.
“Karena
mereka tak ada ikatan apa pun dengan Pak Joni, mereka tak menginginkan harta
Pak Joni. Beda dengan keluargamu, mereka ada ikatan walaupun jauh, dan
menginginkan harta yang mereka anggap bisa menjadi miliknya.” Jawab batu
hitamku.
Kali
ini aku tidak ketakutan, aku menyimak takjim jawaban dari batuku yang bisa
dibilang masuk akal. Aku tak tahu, dan mungkin tak akan pernah tahu kenapa batu
itu bisa berbicara. Mungkin dia dimasuki arwah ayah atau arwah kakek, atau juga
arwah ayahnya Pak Tono, yang kesemua dari mereka tahu persis perihal harta
warisan itu.
***
Puncaknya,
terjadi saat aku berusia 20 tahun, saat aku sudah paham seutuhnya biduk
permasalahanya. Pagi-pagi sekali, Bu Dharma bersama suaminya, Pak Hadi‒datang ke rumah. Pak Hadi adalah anak dari adik
kakekku. Mereka marah-marah tak jelas, meminta bagian harta.
Saat
suasana sudah panas, mulut ibu beradu dengan mulut kedua orang itu. Dan suara
gebrakan meja menjadi iringan dari setiap kalimat yang diucapkan keras-keras.
Pak Tono datang melerai.
“Cukup!
Tinggalkan Boni dan ibunya! Kalian tak berhak atas harta yang sudah menjadi
milik mereka.” Suara Pak Tono keras, menghentikan keributan.
Setelah
terjadi perundingan agak lama dengan Pak Tono, Pak Hadi dan isterinya pulang
sembari mengumpat sumpah serapah yang aku tak bisa mendengarnya. Disaat
bersamaan, aku tak menyadari kalau ibu menangis sesenggukan di samping Pak
Tono. Tangan Pak Tono tepat menempel di bahu ibu, aku tak tahu maksutnya.
Untuk menenangkan‒mungkin.
Beberapa
saat kemudian, aku berujar, “Aku akan membalas siapa saja yang membuat ibu
menangis.”
“Kau
tak bisa berbuat seperti dulu lagi, seperti yang kau perbuat pada Ari dan Anto.
Kini kau sudah dewasa, sudah layak dimasukkan penjara jika melakukan hal semacam
itu.” Tutur Pak Tono.
***
“Aku sudah tak tahan lagi
dengasn sikap orang kampung, aku ingin mecekik leher mereka.” Ucapku pada batu
hitamku.
“Kalau itu memang kau
inginkan, lakukan. Tetapi beri tahu mereka terlebih dahulu, bahwa kau akan
mencekik kalau ada yang berani mengganggumu lagi.”
“Baik, aku akan ke rumah
Pak Hadi, sekarang.”
***
Saat aku sampai di
rumahnya, Pak Hadi sedang duduk santai di beranda. Dan langsung berdiri tegang
saat menyadari kedatanganku.
“Mau apa kau anak setan?” Ucapnya.
“Brengsek, jangan sebut
aku anak setan lagi. Jika kau masih berani melakukannya, aku akan mencekik
lehermu saat kau tertidur.” Raut mukanya sedikit berubah menjadi pucat setelah
aku mengancamnya.
“Aku bisa saja datang ke
rumahmu jam satu dini hari, memakai sarung sebagai tutup kepala seperti
maling-maling yang sering datang ke kampung ini, lalu aku akan mencekikmu. Setelah
kau tak bernyawa, aku akan menggeretmu ke belakang rumah, lalu aku akan
memenggal kepalamu. Tanpa seorang pun yang akan tahu.” Tambahku lagi.
Pak Hadi semakin
ketakutan, aku tak peduli. Aku sudah muak dengan semua sikap orang kampung ini.
Aku ingin mereka tak mengganggu aku dan ibu lagi.
“Mulai sekarang, kau
jangan lagi mengganggu keluargaku. Katakana pada semua orang kampong ini.”
Aku harus mengatakan itu
kepadanya. Aku rindu pada suasana sebelum bapak meninggal, aku merindukan semua
orang kampung berkasih-sayang.
Keesokan harinya, dan
hari-hari berikutnya, tak ada lagi orang yang mengganggu keluargaku. Aku tetap
bermain dengan mobil baru ibu. Aku tetap bercakap-cakap dengan batu hitamku. Dan
dua minggu lagi, ibu akan menikah dengan Pak Tono.
Catatan:
1). Penggalan cerpen A.S.
Laksana yang berjudul “Menggambar Ayah”. Cerpen itu terdapat dalam buku
kumpulan cerpen yang berjudul “Bidadari yang Mengembara.”
pasti berat hidup mjd si Doni. namun sayang... kehidupan akan jauh lebih berat jk kita memendam dendam dlm hati. mari jdkan hati kita seluas samudra, memaafkan mrk yg tak mampu memahami kita. banyak hal di kehidupan depanmu yg harus kau lalui dg bahagia tanpa dendam. lupakan... mari mjd pemaaf yg baik. mari menjadi penyebar kebaikan yg bijak. love you more....
BalasHapusLumayan, tapi detail cerpennya kurang.
BalasHapus