Alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan
masa muda yang hanya berisi kemacetan jalan,
ketakutan datang terlambat ke kantor,
tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat,
dan kehidupan seperti mesin,
yang hanya akan berakhir dengan pensiun tidak seberapa.
—Menjadi Tua di Jakarta, Seno Gumira
Ajidarma
lagi ngehits, ya, yang kayak gini? Apa udah lewat? |
Tanggal 25-28 November 2016
kemarin, saya pergi ke Jogja untuk mengikuti Kampus Fiksi yang diadakan oleh
penerbit DIVA Press. Sedikit tentang Kampus Fiksi, jadi Kampus Fiksi itu adalah
acara tulis-menulis, untuk bisa berada di sana, kita kudu mengikuti seleksi
masuknya dengan cara mengirim satu cerpen terbaik. Cerpen-cerpen itu nantinya
akan dipilih oleh tim, penulis yang terpilih akan diundang untuk datang ke
Jogja. Di sana kita akan dibimbing, diajari, dan diberi tahu tentang dunia
kepenulisan dan serba-serbinya. Hal istimewanya adalah, acara itu gratis
segratis-gratisnya. Jangan tanya tidur dimana, makannya gimana, mandi dan
segala macamnya, semua sudah disediakan. Kita peserta yang dimuliakan.
Selama acara, sesekali saya
memikirkan kalimat dari SGA (Sebutan untuk Seno Gumira Ajidarma) itu. Kalian
bisa mengganti nama kotanya dengan kota-kota lain yang ada di dunia, tidak
harus Jakarta, boleh London, Paris, Semarang, Milan, Bandung, Surabaya (Bolehlah
naik dengan percuma), atau bahkan nama desa tempat kalian tinggal sekalipun.
Saya memikirkan kalimat itu karena,
saat sesi sharing proses kreatif bersama alumni Kampus Fiksi yang diisi oleh
mas Reza Nufa, berkali-kali dia menekankan untuk tidak hidup lurus-lurus saja.
Kuliah, lulus cepat, kerja, ngumpulin duit, lalu nikah. “Hidup kalian akan
habis setelah menikah, kalian akan menjalani kehidupan yang sama teruuuus
sampai tua nanti, bahkan sampai mati. Berangkat pagi pulang sore, setiap hari.”
Kata mas Reza.
Kemudian saya bertanya ke diri
sendiri, saya termasuk yang lurus apa termasuk yang ada belok-beloknya? Sialnya,
saya tidak tahu batasan-batasan lurus dan belok itu. Kalau hanya memakai sepatu
Vans Sk8 saat wisuda sedangkan yang lain memakai pantofel termasuk belok, saya
sudah melakukannya. Bukan, bukan saya mau gaya, saya tidak punya pantofel, dan
teman-teman yang biasa saya pinjami, hari itu juga wisuda.
Lalu ada sesi Teknik Kepenulisan,
yang diisi oleh Bapak Rektor Kampus Fiksi kita, Edi Mulyono a.k.a. Edi Akhiles
Iyubenu. Beliau menyampaikan teknik-teknik dasar tentang menulis, tentang tidak
harus mematuhi SPOK, “Obrak-abriklah SPOK, jangan pakem menggunakan SPOK,” katanya.
Ada juga tentang snapshot, diksi, dan lain sebagainya. Pak Edi—menurut saya—lebih menekankan untuk menulis
menggunakan logika. Jadi jangan asal menulis, tapi logikannya juga dipikrkan.
Selain ilmu tentang kepenulisan,
hal istimewa lain yang saya perolah adalah, teman-teman baru yang sehobi,
menulis. Menyenangkan sekali berada di antara mereka, salah satu hal yang
selama ini saya cari-cari, punya banyak teman yang suka menulis. Jargon Kampus
Fiksi pun begitu, “Menulis berbeda dengan menjadi penulis. Yang pertama bisa
sendirian, yang kedua butuh teman.”
Saat istirahat dari satu sesi ke
sesi lain, saya kembali memikirkan kata mas Reza, jangan hidup lurus-lurus saja. Kemudian saya bertanya ke salah seorang teman, peserta juga, namanya Rudi,
dari Serang. “Gimana, Rud, menurutmu tentang pendapat mas Reza?”
“Iya bener, emang harus gitu.” Jawabnya,
sambil mengangguk-anggukan kepala. Saya tidak bertanya lagi, dari anggukan
kepala dan gerak tubuhnya, saya yakin dia setuju setengah mati dengan pendapat
mas Reza. Saya pun setuju, setuju sekali bahkan. Menjalani hidup seperti yang
orang kebanyakan jalani sama sekali tidak imajinatif.
Jangan hidup lurus-lurus saja. Tapi
hidup yang seperti apa?
Sepulang dari Kampus Fiksi, saya bercerita
ini dan itu kepada seorang teman, kebetulan dia sudah bekerja di Jakarta dan
pulang ke Semarang untuk mengikuti wisuda. Dia saya lihatkan penggalan kalimat
dari SGA itu dan saya ceritakan tentang pendapat mas Reza. Dia bilang, “Asem ik, betul juga, ya?”
Dia diam sebentar, saya
senyum-senyum kecil. Lalu dia berujar kembali, “Tapi kalau hidup lurus-lurus
saja sudah bahagia, apa lagi yang mau dicari?” Ada “dheg” panjang, menghantam,
keras, di dada saya.
Ini akan menjadi perdebatan panjang, antara si lurus dan si belok. Saya akhiri saja.
Ini akan menjadi perdebatan panjang, antara si lurus dan si belok. Saya akhiri saja.
***
Ya, ini adalah sedkiti cerita
tentang Kampus Fiksi 18, acara yang saya tunggu sejak dua tahun yang
lalu. Cerita yang terlambat.
Peserta, alumni, panitia, dan Rektornya. |
No offense, Rud. Dapet dari panitia. :) |
hehehe....
BalasHapussantai aja bung Fakhri.
hidup yang bolak-belok pada akhirnya akan diluruskan waktu.
bagus euy tulisannya!!! keren
((Akan diluruskan waktu)) Thsi! Setuju, bang Rud.
BalasHapusTerima kasih sudah mampir, bang Rud. :)
ya.... kalo ada waktu main ke rudirustiadi.blogspot.co.id
BalasHapusjarang ngisi sih.... tapi lihatlihat aja lah.. hehehe..
Siaap abang Rudi, sebelum disuruh aku udah ke sana duluan hehe.
Hapus