8.12.16

Kampus Fiksi 18 Yogyakarta

Alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan
masa muda yang hanya berisi kemacetan jalan,
ketakutan datang terlambat ke kantor,
tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat,
dan kehidupan seperti mesin,
yang hanya akan berakhir dengan pensiun tidak seberapa.

—Menjadi Tua di Jakarta, Seno Gumira Ajidarma

lagi ngehits, ya, yang kayak gini? Apa udah lewat?

Tanggal 25-28 November 2016 kemarin, saya pergi ke Jogja untuk mengikuti Kampus Fiksi yang diadakan oleh penerbit DIVA Press. Sedikit tentang Kampus Fiksi, jadi Kampus Fiksi itu adalah acara tulis-menulis, untuk bisa berada di sana, kita kudu mengikuti seleksi masuknya dengan cara mengirim satu cerpen terbaik. Cerpen-cerpen itu nantinya akan dipilih oleh tim, penulis yang terpilih akan diundang untuk datang ke Jogja. Di sana kita akan dibimbing, diajari, dan diberi tahu tentang dunia kepenulisan dan serba-serbinya. Hal istimewanya adalah, acara itu gratis segratis-gratisnya. Jangan tanya tidur dimana, makannya gimana, mandi dan segala macamnya, semua sudah disediakan. Kita peserta yang dimuliakan.

Selama acara, sesekali saya memikirkan kalimat dari SGA (Sebutan untuk Seno Gumira Ajidarma) itu. Kalian bisa mengganti nama kotanya dengan kota-kota lain yang ada di dunia, tidak harus Jakarta, boleh London, Paris, Semarang, Milan, Bandung, Surabaya (Bolehlah naik dengan percuma), atau bahkan nama desa tempat kalian tinggal sekalipun.

Saya memikirkan kalimat itu karena, saat sesi sharing proses kreatif bersama alumni Kampus Fiksi yang diisi oleh mas Reza Nufa, berkali-kali dia menekankan untuk tidak hidup lurus-lurus saja. Kuliah, lulus cepat, kerja, ngumpulin duit, lalu nikah. “Hidup kalian akan habis setelah menikah, kalian akan menjalani kehidupan yang sama teruuuus sampai tua nanti, bahkan sampai mati. Berangkat pagi pulang sore, setiap hari.” Kata mas Reza.

Kemudian saya bertanya ke diri sendiri, saya termasuk yang lurus apa termasuk yang ada belok-beloknya? Sialnya, saya tidak tahu batasan-batasan lurus dan belok itu. Kalau hanya memakai sepatu Vans Sk8 saat wisuda sedangkan yang lain memakai pantofel termasuk belok, saya sudah melakukannya. Bukan, bukan saya mau gaya, saya tidak punya pantofel, dan teman-teman yang biasa saya pinjami, hari itu juga wisuda.

Lalu ada sesi Teknik Kepenulisan, yang diisi oleh Bapak Rektor Kampus Fiksi kita, Edi Mulyono a.k.a. Edi Akhiles Iyubenu. Beliau menyampaikan teknik-teknik dasar tentang menulis, tentang tidak harus mematuhi SPOK, “Obrak-abriklah SPOK, jangan pakem menggunakan SPOK,” katanya. Ada juga tentang snapshot, diksi, dan lain sebagainya. Pak Edimenurut sayalebih menekankan untuk menulis menggunakan logika. Jadi jangan asal menulis, tapi logikannya juga dipikrkan.

Selain ilmu tentang kepenulisan, hal istimewa lain yang saya perolah adalah, teman-teman baru yang sehobi, menulis. Menyenangkan sekali berada di antara mereka, salah satu hal yang selama ini saya cari-cari, punya banyak teman yang suka menulis. Jargon Kampus Fiksi pun begitu, “Menulis berbeda dengan menjadi penulis. Yang pertama bisa sendirian, yang kedua butuh teman.”

Saat istirahat dari satu sesi ke sesi lain, saya kembali memikirkan kata mas Reza, jangan hidup lurus-lurus saja. Kemudian saya bertanya ke salah seorang teman, peserta juga, namanya Rudi, dari Serang. “Gimana, Rud, menurutmu tentang pendapat mas Reza?” 

“Iya bener, emang harus gitu.” Jawabnya, sambil mengangguk-anggukan kepala. Saya tidak bertanya lagi, dari anggukan kepala dan gerak tubuhnya, saya yakin dia setuju setengah mati dengan pendapat mas Reza. Saya pun setuju, setuju sekali bahkan. Menjalani hidup seperti yang orang kebanyakan jalani sama sekali tidak imajinatif.

Jangan hidup lurus-lurus saja. Tapi hidup yang seperti apa?

Sepulang dari Kampus Fiksi, saya bercerita ini dan itu kepada seorang teman, kebetulan dia sudah bekerja di Jakarta dan pulang ke Semarang untuk mengikuti wisuda. Dia saya lihatkan penggalan kalimat dari SGA itu dan saya ceritakan tentang pendapat mas Reza.  Dia bilang, “Asem ik, betul juga, ya?”

Dia diam sebentar, saya senyum-senyum kecil. Lalu dia berujar kembali, “Tapi kalau hidup lurus-lurus saja sudah bahagia, apa lagi yang mau dicari?” Ada “dheg” panjang, menghantam, keras, di dada saya.

Ini akan menjadi perdebatan panjang, antara si lurus dan si belok. Saya akhiri saja.

***

Ya, ini adalah sedkiti cerita tentang Kampus Fiksi 18, acara yang saya tunggu sejak dua tahun yang lalu. Cerita yang terlambat.


Peserta, alumni, panitia, dan Rektornya.



No offense, Rud. Dapet dari panitia. :)

4 komentar:

  1. hehehe....
    santai aja bung Fakhri.
    hidup yang bolak-belok pada akhirnya akan diluruskan waktu.
    bagus euy tulisannya!!! keren

    BalasHapus
  2. ((Akan diluruskan waktu)) Thsi! Setuju, bang Rud.
    Terima kasih sudah mampir, bang Rud. :)

    BalasHapus
  3. ya.... kalo ada waktu main ke rudirustiadi.blogspot.co.id
    jarang ngisi sih.... tapi lihatlihat aja lah.. hehehe..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Siaap abang Rudi, sebelum disuruh aku udah ke sana duluan hehe.

      Hapus

Berkumpulah, berkumpulah

Hari itu, hari setelah penantian panjang bertahun-tahun untuk memiliki anak, turun perintah langit untuk Ib. Ia disuruh membawa istri dan a...