“Aku pikir, sudah tidak ada tempat untukku kembali,” nada suaramu begitu memelas, seperti ada rasa bersalah yang sangat besar.
Dengan tersenyum
kujawab, “Karena aku pernah berkata: hatiku sudah jatuh padamu, dan menolak bangun lagi.”
Aku jatuh cinta kedua kalinya padamu, aku telah rela disakiti di cinta yang pertama. Betapa cinta tidak bisa dikalahkan begitu saja dengan kebohongan, cintaku padamu.
***
Masih teringat dengan jelas bagaimana gayamu menungguku di
perpustakaan setelah pulang sekolah. Saat kamu dan aku masih menjadi sepasang
remaja yang menjalin hubungan, pacaran. Seperti
biasa, kamu selalu sudah duduk di kursi faforitmu di dekat jendela, dan tidak
ada kerjakan lain selain membaca novel dari penulis idolamu–Tere Liye.
Setelah aku datang, buru-buru kamu menolehkan wajah ke arah pintu,
lalu seketika raut wajahmu menjadi ceria. Ah, betapa aku merindu pada wajah itu.
Kemudian kamu akan menutup novelmu, dan mempersilahkan aku duduk, lalu
memberiku secarik kertas yang isinya puisi karanganmu.
“Ini untukmu, aku buat tadi malam,” katamu setelah aku duduk tepat
di hadapmu.
“Boleh langsung aku baca? Atau harus baca di rumah?” Tanyaku waktu
itu.
“Tentu saja boleh, silahkan,” jawabmu.
Aku terdiam sesaat setelah sampai di bait yang terakihr. Kamu
dan aku bagaikan sumbu dan minyak. Untuk tetap menyala, kamu harus mengajakku
ikut terbakar. Kamu memang pandai mengarang puisi, dan aku pandai memberimu
inspirasi. Kita pasangan yang saling melengkapi.
Puisimu aku balas dengan kalimat pendek, “Hatiku sudah jatuh
padamu, dan menolak bangun lagi.”
***
Setelah kelulusan sekolah, kamu bilang mau melanjutkan kuliah
di luar negeri. Dan kamu memintaku menemuimu di kafe dekat sekolah, aku iyakan
ajakanmu itu. Dan ternyata itu ajakan terakhir sebelum kamu benar-benar pergi.
“Dodit, aku sudah resmi kuliah di Inggris. Papa dan mama sudah
mengatur semua, dan itu akan sangat lama, empat tahun,” diam sejenak, lalu kamu
melanjutkan kalimatmu. “Ma’af, ya. Kita harus berpisah.”
Hening, kopi di gelasku mulai mendingin. Mungkin terbawa suasana
yang kita buat. Betapa cinta telah melemahkanku akan perpisahan, kamu pergi,
aku sunyi.
“Tidak apa-apa, Nessa. Orang tuamu lebih tahu yang terbaik buat
anaknya, turuti saja mereka,” jawaban retoris yang dapat aku sampaikan padamu
waktu itu.
Lagi-lagi hening, kamu diam, aku diam. Perpisahan yang tidak
kusangka harus terjadi secepat ini. Dalam hati, aku ingin mengatakan: tolak
saja kemauan orang tuamu , kuliah di Indonesia juga tidak kalah bagus,
asalkan niat, pasti tidak kalah dengan lulusan luar negeri. Tapi apa daya,
egoku kalah dengan rasa untuk tidak menyakiti perasaanmu.
***
Tepat lima tahun setelah perpisahan itu. Aku sudah menjadi
pengusaha muda di kota kita. Aku mempunyai beberapa kafe dan taman bacaan, ada
satu kafe yang aku satukan dengan taman bacaan, namanya Kafe Neruda. Aku beri
nama seperti penyair idolamu, Pablo Neruda.
“Kriiing, kriiing,” alat sambung di kantong celanaku mengeluarkan
bunyi paling merdu abad ini.
“Hallo, dengan siapa?” Sapaku pada orang di ujung sana.
“Hallo Nak Dodit, ini Om Herman. Nak Dodit bisa ke rumah, sekarang?”
Om Herman? Papamu? Ada apa gerangan beliau menelponku lalu
menyuruhnya main ke rumah? Apa kamu sudah pulang dari Inggris dan ingin bertemu
denganku? Ah, kamu membuat kejutan yang baik dan menyenangkan. Aku suka.
“Iya, Om, bisa. Tapi ada apa, ya?”
“Sudah, Nak Dodit datang saja. Nanti kita bicara di rumah.”
Aku persiapkan pakaian terbaik, aku pilih, cocokkan, lalu
menjajalnya untuk bertamu ke rumahmu. Buru-buru kusiapkan mobil lalu
memanasinya, kemudian langsung meluncur cepat ke rumahmu. Berharap kamu
sudah duduk di ruang tamu dan mengenakan make up sederhana yang anggun untuk
menyambutku.
Tak butuh waktu lama, aku sudah tiba di rumahmu. Langsung kusambar
bel di dekat pintu. Ting tong, ting tong.
“Silahkan masuk, nak,” papamu sendiri yang membukakan pintu
untukku, Nessa.
“Iya, Om,” jawabku singkat. Papamu mengajakku duduk di kursi tamu,
kursi yang tadi aku bayangkan ada kamu yang sedang menunggu seseorang, aku. Tetapi
kamu tidak ada, kursi itu kosong.
“Begini, Nak Dodit. Aduh, Om bingung mau memulai darimana. Gini saja,
dulu, Nessa pernah berpamitan mau melanjutkan kuliah di Inggris?” Tanya papamu
padaku.
“Iya, Om. Katanya disuruh Om buat kuliah di sana,” jawabku yang
sedikit kebingungan dengan maksud pertanyaan papamu.
“Nak Dodit jangan marah atau benci sama Nessa, ya. Marah dan
bencilah pada Om saja,” aku semakin kebingungan oleh sikap papamu, Nessa. “Nessa
tidak pernah melanjutkan kuliah, apalagi sampai ke Inggris. Dia mengidap
penyakit tumor otak, dan selama lima tahun ini, dia dirawat berpindah-pindah
dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain. Dari satu kota ke kota lain, kami
sekeluarga sudah sepakat untuk merahasiakan ini. Ma’afkan kami, nak.”
Betapa hatiku sudah menjadi dua dan telah aku buang potongan yang
satu, tetapi kini kamu memaksaku untuk mencari potongan yang telah kubuang itu,
Nessa. Aku tidak tahu siapa yang jahat, kamu atau penyakitmu. Aku atau kebodohanku
yang tidak curiga sedikitpun terhadapmu.
Aku hanya diam setelah kalimat dari papamu benar-benar berakhir. Tidak
ada niat untuk menjawabnya.
“Dokter mengatakan, umur Nessa tidak akan sampai lima tahun. Tetapi
sekarang sudah lima tahun, dan Nessa tidak punya alasan lagi untuk tidak
bertemu denganmu. Makanya Om menyuruh kamu datang kesini,” lanjut papamu yang
mengetahui aku tidak akan menanggapi kalimatnya yang tadi.
“Sekarang Nessa dimana, Om? Biar Dodit menemuinya.”
Papamu menunjuk kamar yang berada tepat disamping tangga. Aku langsung
menuju kamar itu, lalu membukanya. Kulihat kamu sedang tidur pulas ditemani
mama dan perawatmu. Tidak luput, selang infus menempel di tanganmu.
“Tante,” sapaku pada mama tercintamu. Belum selesai aku menyapa,
mamamu sudah memotong dengan air mata yang jatuh membasai tanganmu.
“Nak Dodit, silahkan masuk. Nessa sudah menunggu dari tadi,” perintah
mamamu sambil beranjak dari kursi di samping ranjangmu.
Ternyata kamu sudah bangun karena terkena air mata mamamu,
dengan mata sayu, bibir biru, dan pipi yang mulai menipis, kamu tetap terlihat
ayu.
“Iya, Tante. Terimakasih.”
Mama dan perawatmu keluar kamar begitu aku sudah duduk di kursi
yang tadi diduduki mamamu, aku raih tanganmu, dan kamu membalasnya dengan
senyuman. Senyummu tetap indah walau dari raga yang sakit.
“Kamu bohong?” Tanyaku padamu.
“Aku tidak mau membuatmu menderita karena penyakitku,” jawabmu yang
seperti adegan-adegan dalam film. Kenapa kamu menirunya? Itu kan cerita ynag
sudah tidak indah lagi, kenapa kamu tidak mengganti jalan ceritanya?
“Kamu jahat.”
“Aku minta ma’af,” matamu mengeluarkan air. Lalu dengan cermat aku
menyekannya.
Aku tidak langsung menjawab, tapi aku mencium keningmu. Kamu
menerimanya begitu saja, pasrah. Aku rasakan desiran darah dalam tubuhku
mengencang. Itu ciuman pertama untukmu.
“Aku tetap mencintaimu, Nessa,” jawabku kemudian.
“Aku pikir, sudah tidak ada tempat untukku kembali,” nada suaramu begitu memelas, seperti ada rasa bersalah yang sangat besar.
“Aku pikir, sudah tidak ada tempat untukku kembali,” nada suaramu begitu memelas, seperti ada rasa bersalah yang sangat besar.
Dengan tersenyum
kujawab, “Karena aku pernah berkata: hatiku sudah jatuh padamu, dan menolak bangun lagi.”
Aku jatuh cinta kedua kalinya padamu, aku telah rela disakiti di cinta yang pertama. Betapa cinta tidak bisa dikalahkan begitu saja dengan
kebohongan, cintaku padamu.
Selesai
Cerpen ini, hasil ikut tantangan dari @KampusFiksi, temanya
#CintaDuaCara.
kata temen mb, "adekmu sembarangan cium orang gitu?" ha...
BalasHapuskeseluruhan bagu untuk santapan.
tp kalau dilogika, kata2 ini sptnya kurang tepat "Kamu dan aku bagaikan sumbu dan minyak. Untuk tetap menyala, kamu harus mengajakku ikut terbakar"
apakah minyak ikut terbakar agar sumbu ttp menyala? ga' kan, minya mengalir dari sumbu agar sumbu tdk mudah terbakar dan langsung habis bukan?