11.5.14

Kamu dan Aku Bagaikan Sumbu dan Minyak

        
  
  “Aku pikir, sudah tidak ada tempat untukku kembali,” nada suaramu begitu memelas, seperti ada rasa bersalah yang sangat besar.

            Dengan tersenyum kujawab, “Karena aku pernah berkata: hatiku sudah jatuh padamu, dan menolak bangun lagi.”

Aku jatuh cinta kedua kalinya padamu, aku telah rela disakiti di cinta yang pertama. Betapa cinta tidak bisa dikalahkan begitu saja dengan kebohongan, cintaku padamu.


***
Masih teringat dengan jelas bagaimana gayamu menungguku di perpustakaan setelah pulang sekolah. Saat kamu dan aku masih menjadi sepasang remaja yang menjalin hubungan, pacaran.  Seperti biasa, kamu selalu sudah duduk di kursi faforitmu di dekat jendela, dan tidak ada kerjakan lain selain membaca novel dari penulis idolamu–Tere Liye.

Setelah aku datang, buru-buru kamu menolehkan wajah ke arah pintu, lalu seketika raut wajahmu menjadi ceria. Ah, betapa aku merindu pada wajah itu. Kemudian kamu akan menutup novelmu, dan mempersilahkan aku duduk, lalu memberiku secarik kertas yang isinya puisi karanganmu.

“Ini untukmu, aku buat tadi malam,” katamu setelah aku duduk tepat di hadapmu.

“Boleh langsung aku baca? Atau harus baca di rumah?” Tanyaku waktu itu.

“Tentu saja boleh, silahkan,” jawabmu.

Aku terdiam sesaat setelah sampai di bait yang terakihr. Kamu dan aku bagaikan sumbu dan minyak. Untuk tetap menyala, kamu harus mengajakku ikut terbakar. Kamu memang pandai mengarang puisi, dan aku pandai memberimu inspirasi. Kita pasangan yang saling melengkapi.

Puisimu aku balas dengan kalimat pendek, “Hatiku sudah jatuh padamu, dan menolak bangun lagi.”


***

Setelah kelulusan sekolah, kamu bilang mau melanjutkan kuliah di luar negeri. Dan kamu memintaku menemuimu di kafe dekat sekolah, aku iyakan ajakanmu itu. Dan ternyata itu ajakan terakhir sebelum kamu benar-benar pergi.

“Dodit, aku sudah resmi kuliah di Inggris. Papa dan mama sudah mengatur semua, dan itu akan sangat lama, empat tahun,” diam sejenak, lalu kamu melanjutkan kalimatmu. “Ma’af, ya. Kita harus berpisah.”

Hening, kopi di gelasku mulai mendingin. Mungkin terbawa suasana yang kita buat. Betapa cinta telah melemahkanku akan perpisahan, kamu pergi, aku sunyi.

“Tidak apa-apa, Nessa. Orang tuamu lebih tahu yang terbaik buat anaknya, turuti saja mereka,” jawaban retoris yang dapat aku sampaikan padamu waktu itu.

Lagi-lagi hening, kamu diam, aku diam. Perpisahan yang tidak kusangka harus terjadi secepat ini. Dalam hati, aku ingin mengatakan: tolak saja kemauan orang tuamu , kuliah di Indonesia juga tidak kalah bagus, asalkan niat, pasti tidak kalah dengan lulusan luar negeri. Tapi apa daya, egoku kalah dengan rasa untuk tidak menyakiti perasaanmu.

***

Tepat lima tahun setelah perpisahan itu. Aku sudah menjadi pengusaha muda di kota kita. Aku mempunyai beberapa kafe dan taman bacaan, ada satu kafe yang aku satukan dengan taman bacaan, namanya Kafe Neruda. Aku beri nama seperti penyair idolamu, Pablo Neruda.

“Kriiing, kriiing,” alat sambung di kantong celanaku mengeluarkan bunyi paling merdu abad ini.

“Hallo, dengan siapa?” Sapaku pada orang di ujung sana.

“Hallo Nak Dodit, ini Om Herman. Nak Dodit bisa ke rumah, sekarang?”

Om Herman? Papamu? Ada apa gerangan beliau menelponku lalu menyuruhnya main ke rumah? Apa kamu sudah pulang dari Inggris dan ingin bertemu denganku? Ah, kamu membuat kejutan yang baik dan menyenangkan. Aku suka.

“Iya, Om, bisa. Tapi ada apa, ya?”

“Sudah, Nak Dodit datang saja. Nanti kita bicara di rumah.”

Aku persiapkan pakaian terbaik, aku pilih, cocokkan, lalu menjajalnya untuk bertamu ke rumahmu. Buru-buru kusiapkan mobil lalu memanasinya, kemudian langsung meluncur cepat ke rumahmu. Berharap kamu sudah duduk di ruang tamu dan mengenakan make up sederhana yang anggun untuk menyambutku.

Tak butuh waktu lama, aku sudah tiba di rumahmu. Langsung kusambar bel di dekat pintu. Ting tong, ting tong.

“Silahkan masuk, nak,” papamu sendiri yang membukakan pintu untukku, Nessa.

“Iya, Om,” jawabku singkat. Papamu mengajakku duduk di kursi tamu, kursi yang tadi aku bayangkan ada kamu yang sedang menunggu seseorang, aku. Tetapi kamu tidak ada, kursi itu kosong.

“Begini, Nak Dodit. Aduh, Om bingung mau memulai darimana. Gini saja, dulu, Nessa pernah berpamitan mau melanjutkan kuliah di Inggris?” Tanya papamu padaku.

“Iya, Om. Katanya disuruh Om buat kuliah di sana,” jawabku yang sedikit kebingungan dengan maksud pertanyaan papamu.

“Nak Dodit jangan marah atau benci sama Nessa, ya. Marah dan bencilah pada Om saja,” aku semakin kebingungan oleh sikap papamu, Nessa. “Nessa tidak pernah melanjutkan kuliah, apalagi sampai ke Inggris. Dia mengidap penyakit tumor otak, dan selama lima tahun ini, dia dirawat berpindah-pindah dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain. Dari satu kota ke kota lain, kami sekeluarga sudah sepakat untuk merahasiakan ini. Ma’afkan kami, nak.”

Betapa hatiku sudah menjadi dua dan telah aku buang potongan yang satu, tetapi kini kamu memaksaku untuk mencari potongan yang telah kubuang itu, Nessa. Aku tidak tahu siapa yang jahat, kamu atau penyakitmu. Aku atau kebodohanku yang tidak curiga sedikitpun terhadapmu.

Aku hanya diam setelah kalimat dari papamu benar-benar berakhir. Tidak ada niat untuk menjawabnya.

“Dokter mengatakan, umur Nessa tidak akan sampai lima tahun. Tetapi sekarang sudah lima tahun, dan Nessa tidak punya alasan lagi untuk tidak bertemu denganmu. Makanya Om menyuruh kamu datang kesini,” lanjut papamu yang mengetahui aku tidak akan menanggapi kalimatnya yang tadi.

“Sekarang Nessa dimana, Om? Biar Dodit menemuinya.”

Papamu menunjuk kamar yang berada tepat disamping tangga. Aku langsung menuju kamar itu, lalu membukanya. Kulihat kamu sedang tidur pulas ditemani mama dan perawatmu. Tidak luput, selang infus menempel di tanganmu.

“Tante,” sapaku pada mama tercintamu. Belum selesai aku menyapa, mamamu sudah memotong dengan air mata yang jatuh membasai tanganmu.

“Nak Dodit, silahkan masuk. Nessa sudah menunggu dari tadi,” perintah mamamu sambil beranjak dari kursi di samping ranjangmu.

Ternyata kamu sudah bangun karena terkena air mata mamamu, dengan mata sayu, bibir biru, dan pipi yang mulai menipis, kamu tetap terlihat ayu.

“Iya, Tante. Terimakasih.”

Mama dan perawatmu keluar kamar begitu aku sudah duduk di kursi yang tadi diduduki mamamu, aku raih tanganmu, dan kamu membalasnya dengan senyuman. Senyummu tetap indah walau dari raga yang sakit.

“Kamu bohong?” Tanyaku padamu.

“Aku tidak mau membuatmu menderita karena penyakitku,” jawabmu yang seperti adegan-adegan dalam film. Kenapa kamu menirunya? Itu kan cerita ynag sudah tidak indah lagi, kenapa kamu tidak mengganti jalan ceritanya?

“Kamu jahat.”

“Aku minta ma’af,” matamu mengeluarkan air. Lalu dengan cermat aku menyekannya.

Aku tidak langsung menjawab, tapi aku mencium keningmu. Kamu menerimanya begitu saja, pasrah. Aku rasakan desiran darah dalam tubuhku mengencang. Itu ciuman pertama untukmu.

“Aku tetap mencintaimu, Nessa,” jawabku kemudian.

“Aku pikir, sudah tidak ada tempat untukku kembali,” nada suaramu begitu memelas, seperti ada rasa bersalah yang sangat besar.

            Dengan tersenyum kujawab, “Karena aku pernah berkata: hatiku sudah jatuh padamu, dan menolak bangun lagi.”

Aku jatuh cinta kedua kalinya padamu, aku telah rela disakiti di cinta yang pertama. Betapa cinta tidak bisa dikalahkan begitu saja dengan kebohongan, cintaku padamu.


Selesai

Cerpen ini, hasil ikut tantangan dari @KampusFiksi, temanya #CintaDuaCara.

1 komentar:

  1. kata temen mb, "adekmu sembarangan cium orang gitu?" ha...

    keseluruhan bagu untuk santapan.

    tp kalau dilogika, kata2 ini sptnya kurang tepat "Kamu dan aku bagaikan sumbu dan minyak. Untuk tetap menyala, kamu harus mengajakku ikut terbakar"

    apakah minyak ikut terbakar agar sumbu ttp menyala? ga' kan, minya mengalir dari sumbu agar sumbu tdk mudah terbakar dan langsung habis bukan?

    BalasHapus

Berkumpulah, berkumpulah

Hari itu, hari setelah penantian panjang bertahun-tahun untuk memiliki anak, turun perintah langit untuk Ib. Ia disuruh membawa istri dan a...